Afrizaln Malna TAK ADA ARTINYA


Afrizaln Malna
TAK ADA ARTINYA
Gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
Dari suaranya
Berdiri melingkar
Di depan bulatan penuh perangkap waktu Jari-jari yang menggenggam tikus
Dan perangkapnya di belakang membuat makan malam
Seperti bayangan yang meninggalkan betuknya
Memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang
Dimuntahkan kembali dari ketakutannya
Cermin yang menjadi buta ketika melihat
Diding di dalamnya
Dan selembar rambut di atas koran pagi Air yang menyebrang di atas jembatan
Melintasi sungai
Melintasi tetesannya
Tanpa prasangka di hadapan daun kering yang
Menyimpan gema dari Hutannya

Sitok Srengenge Kereta


Sitok Srengenge
Kereta
1
Sendiri di Stasiun Tugu, entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu, ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan (sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis, serasa mengecap dusta yang manis Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh, kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna, tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap : di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian? Lengking peluit, roda + roda besi berderit, tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit
2
Andai akulah gerbong kosong itu, akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu, ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu, ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap, kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap, tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku, hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan, terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain, begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin, kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang, duduk berdampingan tapi tak berbincang, dalam gerbong yang beringsut ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku, sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu, menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu, sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih, tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih

Piek Ardijanto Soeprijadi

Piek Ardijanto Soeprijadi
inggih punika sastrawan Indonésia angkatan 1966 ingkang miyos ing Magetan, Jawa Wétan tanggal 12 Agustus 1929 lan sampun séda ing Kota Tegal, Jawa Tengah tanggal 22 Mei 2001.
Piek Ardijanto sampun remen nyerat wiwit piyambakipun sekolah wonten ing SGA. Piyambakipun ugi remen ndhѐrѐk kathah lomba- lomba ngarang lan menang ing lomba- lomba punika, lajeng asiling karyanipun asring dipunkirim wonten ing majalah – majalah. Ing taun 1950, nalika piyambakipun dados guru ing sMP ing Gombong, piyambakipun saged ngasilaken kathah karya saking warahanipun guru musik ing SGA, kados ta ingkang kapacak wonten ing buku Puspa Ragam, (Jakarta, 1950). Wonten 14 penghargaan saking kathah lomba ngarang puisi, prosa, saha esai ing sadangunipun piyambakipun gesang. Wiwit saking lulus SR, pyambakipun lajeng mlebet SGB, lajeng saged mlebet ing SGA.
Ing antawisipun taun 1950 ngantos 1960, Piek Ardijanto ndherek kursus PGSLP lan B1 ing Semarang. Senajan sibuk piyambakipun tetep saged ngasilaken karya- karya arupi puisi, cerpen, saha fragmen ingkang kapacak wonten ing kathah media massa ing antawasipun: Gelora, Basis Indonesia, Sastra, Horison, lan sanѐs- sanѐsipun.Ing taun 1961, Piek pindhah tugas dhateng SMA 1 Kota Tegal. Piek ugi sampun naté dhateng Walanda saaking undhanganipun Radio Nedherland Wereldomrroep ing Hilversum kanthi tugas dados Juri Sayembara Menulis Cerpen “Kincir Emas”. Piyambakipun wonten ing Walanda sareng kaliyan Asbari Nurpatria Krisna.
Karyanipun:
Burung-burung di Ladang (1983)
Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983)
Desaku Sayang (1983)
Lelaki di Pinggang Bukit (1984)
Lagu Bening dari Rawa Pening (1984)
Nelayan dan Laut (1995)
Biarkan Angin Itu (1996)
Kawindra-kawindra (sareng kaliyan Rita Oetoro, 1984)
Laut Sebagai Gelanggang Hidup Manusia (waosan laré- laré, 1984)
Apresiasi Sastra dalam Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa (satunggaling wawasan, 1984)
Menyambut Hari Sumpah Pemuda (Langen Suara, 1984)
Gaya Baru, buku pelajaran kanggé laré SMP (1984)
antologi sesarengan :
Antologi Angkatan 66 (H.B Jassin, 1968)
Tanggal 2 (Linus Suryadi, 1987)
Senayu (sesarengan kaliyan penyair Purwokerto, 1995)
Antologi Puisi Jawa Tengah (1994)
angsal penghargaan :
Pemenang kaping 2 awit saking sapérangan puisnipun ingkang kapacak wonten ing Majalah Sastra (1962)
Pemenang kaping 2 wonten ing Sayembara menulis puisi saking Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (1964)
Pemenang Harapan wonten ing Sayembara Menulis Esei Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (1978)
Penghargaan dari Yayasan Buku utama saking puisinipun, Lagu Bening dari Rawa Pening (1984)
Hadiah saking seratan Esei Basa Jawa, Ninthingi Geguritan, saking Lembaga Pemeliharaan Bahasa Jawa “Javanologi”
Penghargaan saking Pusat Bahasa saking bukunipun, Biarkan Angin Itu
Penghargaan dados Pelopor Penyair Tegal saking Dewan Kesenian Kota Tegal. Dinten sédanipun ing tangal (22 Mei) dipundadosaken Hari Kepenyairan Tegal (2005)
Penghargaan Pakarti seni lan hadiah saking Walikota Tegal dados penyair ingkang saged ngangkat citranipun Kota Tegal (2008)

Sides Sudyarto DS

Sides Sudyarto DS
Lahir :
Desa Banjaranyar, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, 14 Juli 1942
Wafat :
Jakarta, 9 Oktober 2012
Pendidikan :
Sekolah pendidikan guru
SMA PGRI Tegal,
jurusan Sastra Budaya,
Universitas Indonesia,
jurusan Sastra Belanda,
Akademi Bahasa Asing (ABA)
Karier :
Guru Sekolah Dasar,
Penarik Becak,
Anggota redaksi majalah anak-anak Bobo,
Reporter Harian KOMPAS,
Redaktur majalah
Jakarta-Jakarta,
Editor penerbit Sinar Harapan,
Managing Majalah Tiara,
Redaktur Harian Media Indonesia
Karya Kumpulan Cerpen :
Salat Lebaran Kawanan Tahanan Politik di Kamp Konsentrasi
Karya kumpulan puisi : Kebatinan (1975,)
Lapar (1977),
Tiang gantungan (1985),
Karya Buku Puisi Anak-Anak :
Lilin Lilin 45,
Pahlawan Dalam Puisi, Pancasila Dalam Puisi.
Karya Novel :
Rona Hati Kekasih
Bernama lengkap Sudiharto, lahir pada 14 Juli 1942 di Desa Banjaranyar, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Pernah menempuh sekolah pendidikan guru. Kemudian menjadi guru Sekolah Dasar di Pekiringan, Tegal, Jawa Tengah. Sambil mengajar, ia meneruskan sekolah kembali di SMA PGRI Tegal, Jawa Tengah, jurusan Sastra Budaya.
Hijrah ke Jakarta, kemudian bekerja sebagai penarik becak selama dua tahun. Sambil menarik becak ia berkuliah di Universitas Indonesia, jurusan Sastra Belanda. Disore harinya, ia berkuliah di Akademi Bahasa Asing. Sempat menjadi anggota redaksi majalah anak-anak Bobo. Selanjutnya menjadi reporter Harian Kompas, bidang seni budaya, kemudian beralih ke bidang Politik Internasional. pernah juga menjadi redaktur majalah Jakarta-Jakarta, editor penerbit Sinar Harapan, managing majalah Tiara (1985) dan redaktur harian Media Indonesia di Jakarta.
Sambil bekerja sebagai wartawan, Sides juga menulis dan menerjemahkan cerita anak-anak dari bahasa asing. Ia juga menulis buku puisi anak-anak, diantaranya, Lilin Lilin 45, Pahlawan Dalam Puisi dan Pancasila Dalam Puisi. Telah menghasilkan dua buku kumpulan puisi, masing-masing, Kebatinan (1975), Lapar (1977) dan Tiang gantungan (1985). Ia Juga menulis novel fiksi, Rona Hati Kekasih (novel remaja) dan kumpulan cerita pendek berjudul Salat Lebaran Kawanan Tahanan Politik di Kamp Konsentrasi.
Karya-karyanya banyak dimuat disejumlah media cetak antara lain: Majalah Kebudayaan Horison, Majalah Sastra, Budaya Jaya, Harian Sinar Harapan, Harian Kompas, Dewi, Majalah Kartini, Ulumul Qur’an, Harian Suara Pembaruan, Warta Harian, Harian Jurnal Indonesia, majalah Jakarta-Jakarta, Harian Republika, majalan Bobo dan Halo.

Yono Daryono


Yono Daryono (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 25 Maret 1955; umur 58 tahun) adalah salah satu tokoh teater di Jawa Tengah. Memulai menulis ketika kelas dua SMA lewat karyanya berbentuk sajak, artikel, dan cerpen yang dimuat di beberapa surat kabar dan majalah seperti: Gadis, Kartini, Suara Karya, Jayakarta, Sinar Harapan, Mutiara, Merdeka, Suara Merdeka, Wawasan, Majalah Sastra Horison, dan lain-lain.
Selain sajak dan cerpen, ia menulis lakon drama antara lain Umar Khatob (1982), Roro Mendut (1983), Masih Muda (1983), Ronggeng-Ronggeng (1986), Mandor (1987), Braen (1987), Adipati Anom (menjadi salah satu pemenang penulisan naskah drama terbaik se-Jateng,1988), Palagan Kurusetra (1991), Opera Gajah Atawa Abrahah (2003), Opera Sebayu (2006), Sunan Panggung (2007), Opera Brandal Mas Cilik (2008), dan lain-lain.
Petilan naskah drama Ronggeng-Ronggeng masuk dalam antologi Horison Sastra Indonesia (2002). Naskah Sunan Panggung dipentaskan di Tegal, 9 Februari 2008, dan Taman Budaya Surakarta, 11 April 2008.
Darbol -sapaan akrab Yono Daryono- banyak berkecimpung dalam kegiatan kesenian di kotanya. Pada tahun 1978 bersama Eko Tunas dan YY Haryo Guritno serta kawan-kawan lainnya, mendirikan Teater RSPD. Tahun 1981 mendirikan Studi Group Sastra Tegal (SGST). Sampai sekarang menetap di Kota Tegal dalam kegiatannya sehari-hari sebagai Pengelola Radio Sebayu Pro FM, dan koresponden RCTI, pernah menjadi Dosen Luar Biasa di FKIP UPS Tegal, jurusan Bahasa dan Sastra, Bidang Studi Drama.
Di Teater RSPD yang dipimpinnya telah banyak menggarap lakon-lakon drama dan dipentaskan tidak saja di kotanya tetapi juga di beberapa kota antara lain: Pekalongan, Semarang, Surakarta, Banyumas, Cirebon, Jakarta, Padang, Sumatera Barat dalam Temu Teater Nasional 1986, Solo dalam pertemuan Teater Nasional (1993). Beberapa kali pentas di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tahun 1986 pentas Roro Mendut di TIM, Jakarata. Tahun 1997 pentas dalam acara Pasar Tontonan Jakarta (Pastojak 1997, TIM) bersama N Riantiarno. Dalam kegiatannya sebagai sutradara teater pernah menjadi sutradara terbaik tingkat tingkat Jawa Tengah tahun 1986.
Sebagai penulis cerpen, dia pernah membaca cerpen-cerpennya di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta dan Bengkel Teater Rendra. Beberapa puisinya masuk antologi antara lain: Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), Dari Negeri Poci 1 (Pustaka Sastra 1994). Cerpen terbarunya, Seh Malang Sumirang, dimuat di Harian Suara Merdeka (1Juli 2007) mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan sebagai cerpen sufi yang diperhitungakan.
Selain sastra dan teater, ia juga menekuni bidang film. Lulusan Kursus Sinematografi Yayasan Citra Jakarta 1991, ini beberapa kali membintangi film dan sinetron, baik sebagai pemain pembantu maupun pemain utama. Sebagai pemain utama, pernah masuk nominator pemeran utama pria terbaik Festival Sinetron tahun 1995 lewat judul Jejak Sang Guru, karya Imam Tantowi.
Hampir setiap hari Jadi Kota Tegal, 12 April, sejak tahun2002, Yono dipercaya menggarap drama kolosal di Alun-Alun Kota Tegal. Pada tahun 2008 April lalu menyutradarai drama kolosal dalam bentuk opera berjudul Brandal Mas Cilik yang melibatkan 150 pemain.
Karya:
Umar Khatob (1982)
Roro Mendut (1983)
Masih Muda (1983)
Ronggeng-Ronggeng (1986)
Mandor (1987)
Braen (1987)
Adipati (1988)
Palagan Kurusetra (1991)
Opera Gajah Atawa Abrahah (2003)
Opera Sebayu (2006)
Sunan Panggung (2007)
Opera Brandal Mas Cilik (2008
Penghargaan:
Moninator pemeran utama pria terbaik Festival Sinetron tahun 1995 lewat judul Jejak Sang Guru, karya Imam Tantowi
Pemenang penulisan naskah drama se-Jateng dalam judul Adipati Anom (1988).
Penghargaan Pakarti Seni dari Walikota Tegal (2008)

Rg.(Ronggo) Bagus Warsono

Rg.(Ronggo) Bagus Warsono
Rg.(Ronggo) Bagus Warsono lebih dikenal dengan Agus Warsono, SPd.MSi,dikenal sebagai sastrawan dan pelukis Indonesia. Lahir Tegal 29 Agustus 1965. Ayahnya adalah Rg Yosoef Soegiono seorang guru keluarga Ronggo Kastuba dari Mangkunegaran Solo. Sastrawan Kelahiran Tegal ini besar di Indramayu. Mengunjungi SDN Sindang II, SMP III Indramayu, SPGN Indramayu, (S1) STIA Jakarta , (S2) STIA Jakata. Tulisannya tersebar di berbagai media regional dan nasional. Redaktur Ayokesekolah.com.Pengalaman penulisan pernah menjadi wartawan Mingguan Pelajar, Gentra Pramuka, Rakyat Post, dan koresponden di beberapa media pendidikan nasional. Anggota PWI Cabang Jawa barat. Menikah dengan Rafiah Ross hinga sekarang, anak-anak Abdurrachman M.
Rg Bagus Warsono dikenal sebagai penggerak minat baca masyarakat. Sejak kecil sudah gemar membaca, pada usia 10 tahun sudah menamatkan cerita bersambung Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja. Kegemaran membaca dilanjutakan dengan tulis menulis. Membuka taman bacaan masyarakat di Indramayu dan mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca (HMGM) Indonesia di Indramayu.
Karya antara lain:
1. Rumahku di Tepi Rel Kereta Api (Kumpulan cerpen anak 1992)
2. Menanti hari Esok (antologi puisi)
3. Mata Air (antologi puisi)
4. Bunyikan Aksara Hatimu (BAH) (antologi puisi)
5. Si Bung (Bung Karno) (antologi puisi)
6. Mas Karebet (Antologi Puisi) , Sibuku Media Yogyakarta 2015
Antologi bersama :
Puisi Menolak Korupsi (PMK II)
Cergam antara lain :
1. Si Kacung Ikut Gerilya
2. Kopral dali
3. Pertempuran Heroik Di Ciwatu
4. Pertempuran Selawe
5. Si Jagur
6. Panglima Indrajaya
7. Endang Dharma
8. Laskar Wiradesa

Apito Lahire

Apito Lahire
Apito Lahire (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 9 Desember 1974; umur 39 tahun) adalah seorang aktivis sastra dan teater di Jawa Tengah. Sejak duduk di bangku SMA dia telah menulis puisi, cerpen, cerbung, monolog, dan naskah drama. Kemampuannya lebih terasah setelah belajar di ASDRAFI dan ISI Yogyakarta. Sepulang dari kota budaya itu, ia segera "mencangkul ladang kreatifitas" dengan mendirikan KST - Teater Pawon bersama Julis Nur Hussein, Ufti Adenda Aulia dan beberapa rekan lainnya. Menyutradai dan bermain dalam pentas Teater Pawon berjudul The Tragedy of Peace, Sungsang, The Sound Millenium Man, dan Waiting for What (1999-2001). Tahun 1999 ia pernah melakukan teater jalanan (happening art) sejauh 15 km dari Monumen GBN Procot Slawi sampai ke Balaikota Tegal berjudul Kesaksian Dara Perempuanku.
Mendapat beasiswa ketika kuliah di ISI. Belajar kabuki (teater tradisional Jepang) pada Prof. Muriyama di Yokohama, Jepang. Deklamasi puisi jalanan dan happening art-nya dijadikan objek studi oleh Prof. Dr. Richard Curtis dari Northen Territory University (NTU) Darwin, Australia (2002). Ditetapkan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Nasional Monolog Putu Wijaya yang diselenggarakan oleh STSI Bandung (2003). Apito tinggal di Langgen 1/1 Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Beberapa antologi yang memuat puisinya antara lain:
Nyanyian Fajar (Teater Kene Bali, 1993)
Serayu, Getar II, Jentera Terkasa (1998)
Juadah Pasar (2001)
Perjumpaan (Lare’s Dramatic Tegal, 2002)
Ning (Sanggar Purbacaraka Fakultas Sastra Universitas Udayanana Bali, 2002).
Mung: Antologi Puisi Tiga Penyair Lintas Pantura, bersama Julis Nur Hussein dan Usman Didi Khamdani (2004)

NUROCHMAN SUDIBYO YS

NUROCHMAN SUDIBYO YS
Nurochman Sudibyo YS. Adalah pekerja seni dan budaya kelahiran Tegal 24 Januari 1963. Sejak sekolah di Taman Kanak-kanak TK. GUNTUR Karangturi Indramayu, sudah Nampak bakatnya dalam berdeklamasi. Bahkan saat duduk di SD Indramayu I (sekarang Margadadi V) hoby membaca buku sastra dan wayang purwa, semaki memperkuat bakat seni-nya. Saatitu ia semakin memperlihatkan kemajuan di seni menulis indah, menggambar, menyanyi di membaca puisi sampai kemudian tamat SD tahun 1974. Sewaktu sekolah di SMP Negeri 2 Indramayu antara tahun 1974-1977 bakat seninya lebih terlihat menonjol di bidang seni rupa, menyanyi dan membaca puisi. Ketika pernah setahun sekolah di SMA Muhammadiyah Indramayu hanya terlihat bakat senirupanya saja. Demikian pula ketika pindah sekolah ke SPG PGRI ia mulai memperlihatkan kemenonjolan di bidang seni lukis, drama, dan membaca puisi.
Baru setelah diangkat sebagai guru sekolah dasar di tahun 1981-82 jiwa seninya kian diaktualkan untuk diri dan murid-muridnya. Ia kemudian mulai lebih spesifik menulis Puisi, cerpen, Esai, catatan perjalanan dan geguritan selain juga membuat banyak karya rupa ilustrasi dan dekorasi. Mas Noor atau Mas Dibyo pernah kuliah di FKIP D3 Bahasa dan sastra Inggris UNWIR Indramayu dan lulus S1 Th 2000 Guru Bahasa Indonesia UPI Bandung. Ia berhenti sebagai PNS Guru dan mulai total menggeluti Karya seni.
Sejak tahun 85-an karyaa sastranya telah dipublikasikan di berbagai media masa. Kumpulan Puisi Tunggalnya “Bawah Payung Langit” (1993), “Malam Gaduh” (1995), Soliloqui (1997) dan “Gerhana” (2000). Adapun Kumpulan Guritannya telah diterbitkan Medium Sastra & Budaya Indonesia diantaranya “Gurit Dermayon” (1995), “Perompak Indrajaya” (2000), “44 Gurit Dermayon” (2006), “Godong Garing Keterjang Angin” (2007), “Blarak Sengkleh” (2008), “Bahtera Nuh” (2009), “Pring Petuk Ngundang Sriti” (2010). Kumpulan Puisi Basa Cerbon bersama Ahmad Syubanuddin Alwy; “Susub Landep” (2008), “Nguntal negara” (2009) Dan “Gandrung Kapilayu (2010). Kumpulan Puisi Tegalan “Ngranggeh Katuranggan”(2009). Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Kembang Pitung Werna” (1992), “Kiser Pesisiran” (1994), Antologi Penyair Indonesia “Dari Negeri Poci” Th 1996, antologi puisi dan cerpen Indonesia modern “GERBONG” Yogyakarta (Th.2000), “Antologi Penyair Indonesia HUT Jakarta” (1999), Antologi “Lahir Dari Masa Depan” Tasikmalaya (2001). Antologi “Dari Negeri Minyak” (Th.2001), Antologi “Sastrawan Mitra Praja Utama” (2008). Antologi “Pangikat Serat Kawindra” (2010), dan Antologi “Perempuan Dengan Belati di Betisnya” Taman Budaya Jawa Tengah (2010). Sebagai sastrawan kini aktifitasnya tidak hanya di Indramayu namun juga menjadi motivator kesenian di berbagai darah baik di Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Slawi dan Pemalang.
Berkali tampil membacakan puisi dan menjadi juri puisi di berbagai kota di pulau Jawa. Sejak awal tahun 2010 bersama Dyah Setyawati mementaskan lakon puisi secara berkeliling, dengan memadukan unsur tradisi guritan, tembang, suluk, wayangan dan tari, bertajuk “Pangikat Serat Kawindra”, “Kupu Mabur Golet Entung”, “Kembang Suket”, dan “Nagari Corong Renteng, Sedulur Papat Lima Pancer dan Oyod Ming Mang.”. Penyair dan dalang tutur wayang gondrong ini sejak tahun 1990 menjadi Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia. Beberapa kali diundang untuk mengikuti pertemuan sastrawan Nusantara baik di Brunai, Palembang dan Jambi. Thn 2012 ia diundang dalam pertemua Sastrawan Indonesia di Makasar sekaligus diminta mementaskan Wayang Sastranya dalam iringan lagu-lagu tarling. Di tahun 2012 bersama groupnya Medium Sastra dan Budaya Indonesia untuk tampil di Penutupan Festifal Teater Indonesia di Galery Nasional. Dan pada tgl 28 November kemarin kembali Nurochman Sudibyo memperoleh Penghargaan Anugtrah Cipta Budaya 2013, dari Gubernur Jokowi melalui Kepala Dinas Parbud Prov Jakarta Drs. Ari Budhiman.
Meskipun teman-teman sastrawan di Indramayu selalu meledek karya puisinya dan dianggap mereka jelek, namun beberapa kali karya puisinya justru masuk karya terbaik di Festifas Sastra Cirebon.’94, Tasik’95, Bandung’96, Riau 96, Jakarta’99, Bali’10, Jakarta’10, Bogor’11, Yogyakarta’12, KSI’12, dan Festifal Lanjong Kalimantan’13.
Sebagai ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia, Nurochman Sudibyo YS menjelaskan bahwa: Lembaga seni budaya yang dipimpinnya lahir di Jl. Jendral Sudirman No.69 Indramayu Jawa Barat antara tahun 1990-1993 an. Sejak pertama didirikan intensitasnya melakukan kegiatan pelatihan penulisan/pembacaan karya sastra, penyelenggaraan even kesenian, pementasan teater dan penelitian seni budaya. Sejak mula lembaga ini menggunakan kata Indonesia sebagai bentuk keyakinan bahwa kelak apa pun yang digagas dapat menjadi suatu kekuatan baru dalam tatanan seni budaya bangsa, karena itulah lembaga ini dalam kiprahnya tak mau meniru selain harus terus berinovasi mencari bentuk-bentuk baru untuk seni budaya di Indonesia. Meski demikian kesekretariatannya tetap di Indramayu.
Salah satu ciri khas pentas pembacaan puisi produk Medium Sastra & Budaya Indonesia, selalu menggunakan gaya tutur teater rakyat “Sandiwara, dalang wayang dan Drama Tarling” khas Indramayu. Seni tembang klasik yang berasal dari tembang tayub dan kiseran dalam iringan gamelan itu kemudian bermigrasi dari gamelan ke gitar dan suling ini, hingga kini terus bertahan menjadi kesenian yang khas dari Indramayu dan Cirebon atau lazim disebut Tarling. Namun demikian Medium Sastra & Budaya Indonesia hanya mengambil esensi besar pada Tarling yaitu pada unsur musik dan tembang saja, yang kemudian dipadukan dengan karya sastra baik berupa puisi jawa (gurit), suluk, tembang, kidung, jawokan serta parikan yang dipadukan dengan puisi berbahasa Indonesia.
Gaya pembacaan puisi yang khas ini semenjak tahun 80 an dimotori oleh Nurochman Sudibyo YS. Sejak itu setiap kali mengikuti lomba baca puisi selalu menjadi juara baik di daerah maupun di berbagai kota lainnya. Di mulai dengan membaca puisi dengan ilustrasi beriramakan suling khas Dermayu/Indramayu. Gagasannya ini kemudian menempatkannya sebagai Pemuda Pelopor bidang pembangunan seni budaya dan pariwisata tingkat Provinsi Jawa barat dan nominator ke 2 di tingkat nasional tahun 1996-1997.
Selanjutnya Nurochman Sudibyo YS pun dikenal dengan sebutan sastrawan yang menghasilkan karya puisi, cerpen, esai dan catatan budaya. Ia dikenal pula sebagai Pembaca Puisi Kiseran, karena setiap membacakan puisi selalu dihiasi dengan suluk, tembang dan jawokan gaya irama tarling kiseran. Karena sering di undang ke berbagai kota dan daerah, Sejak itu ia pun diberi gelar Ki Tapa Kelana. Posisinya selain pembaca puisi di berbagai even juga diminati masyarakat Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal sampai Bekasi, utamaya di minta memberi kidungan Dermayonan ditambah dengan pembacaan puisi. Lagi lagi irama pengiringnyapun live gamelan, suling atau rekaman yang ada di memori HP, CD dan Mp3. Kiseran sendiri maknanya adalah ungkapan cerita dalam bentuk tembang bernuansa sastra yang mengemukakan perasaan suka maupun duka secara bebas dengan laras tarling irama kiser.
Sejak tahun 2000 setiap datang hari ulang tahun Nurochman Sudibyo, MS&B melakukan Pentas Malam Pembacaan Puisi Multimedia di kota Indramayu yang saat itu biasa disebut pembacaan puisi kiseran. Meski tanggal kegiatannya 24 Januari dan bertepatan dengan musim penghujan, namun acaranya selalu sukses walau digelar di luar gedung, bahkan beberapa kali dilakukan di tengah sungai Cimanuk dan sekitarnya. Diantara pentasnya antara lain; “Perompak Indrajaya 2001, Aja Mbluya-2002, Perang Potret-2003, Waduk Bojong-2004, Mak Njaluk Mangan-2005, Gurit ‘44-2006, Blarak Sengkle -2007, Godong Garing Keterjang Angin-2008, Bahtera Nuh -2009, dan Pring Petuk Ngundang Sriti-2010”, semua di gelar di Kota Indramayu di bantaran Kali Cimanuk. Selain pentas di agenda tahunan di tahun 2006 MS&B diundang untuk pentas “Negeri Cantik” di pembukaan Pameran seni lukis SP Hidayat di Musium Nasional Jakarta, dan di tahun 2008 Pentas “Negeri Para Pejuang” di pembukaan Pameran Tunggal seni lukis Karya Dirot Kadirah di gedung utama Galeri Nasional.
Mulai tahun 2010 hingga tahun 2013 banyak diundang pentas pembacaan Tarling Multimedia, diantaranya di Bojonegoro dengan Lakon Pangikat Serat Kawindra, di Kota Tegal dan Slawi dengan lakon yang sama Pangikat Serat Kawindra. Berikutnya diundang di Pentas sastra Kedai Lalang Jakarta dengan Lakon Pangikat Serat Kawindra, di Taman Siswa Yogyakarta dengan lakon Kupu Mabur Golet Entung, di Komunitas Sastra Reboan dalam lakon Negeri Corong Renteng, di TIM dalam lakon Bintang Anak Tuhan, di Taman Budaya Surakarta “Pangikat Serat Kawindra”, di Indramayu “Kembang Suket”, di Pembukaan Art Semarang “Sintren Beken”, di Pasar Malam Jawa Tengah Semarang “Negeri Corong Renteng”, di Pati “Indonesia Kesurupan”, di PPIB kota Tegal “Sedulur Papat Lima Pancer”, di Cirebon “Tragedi Kurusetra”, di Pertemuan Sastrawan Nusantara Palembang “Negeri Corong Renteng”, di STSI Bandung “Negeri Corong Renteng” Pertemuan Sastrawan Makasar “Bersatu Pujangga Nagari Bhahari”, di Galeri Nasional “Sedulur Papat Lima Pancer”, Pembukaan Kongres Bahasa Jawa, di Surabaya dengan Lakon Negeri Corong Renteng,” di Slawi Kab. Tegal dipentaskan “Tumandhange Sinatria Bhayangkara”, dan berlanjut baru-baru ini menggelar pembacaan puisi Tarling Multi media dengan lakon: Puisi Menolak Korupsi dimulai di kota Blitar, Semarang, Surakarta, Jakarta dan Purworejo.
Selain memenuhi panggilan pentas besar dan kecil, sesuai dengan kemajuan zaman Medium Sastra & Budaya Indonesia pun menyajikan bentuk pemanggungan pembacaan puisi dengan tetap beriramakan Tarling, meski kadang diiringi musik gamelan, orkes keroncong, dangdut, organ tunggal, bahkan berbagai musik modern lainnya. Disebut multi media karena dalam pentas pembacaan puisinya kerap kali menggunakan berbagai media sebagai kekuatan pendukung, seperti; wayang kulit, wayang golek, wayang suket, wayang tutus, wayang kertas, wayang padi, wayang ikan asin, topeng, dan dihiasi pula dengan berbagai jenis tari klasik, kontemporer, seni lukis, dan property visual lainnya. ***
Sekilas tentang MS&B
Medium Sastra & Budaya Indonesia, demikian Lembaga seni budaya ini lahir di Indramayu Jawa Barat di tahun 1994. Sejak pertama didirikan intensitasnya melakukan kegiatan pelatihan penulisan/pembacaan karya sastra, pementasan teater dan penelitian seni budaya. Sejak mula lembaga ini menggunakan kata Indonesia sebagai bentuk keyakinan bahwa kelak apa pun yang digagas dapat menjadi suatu kekuatan baru dalam tatanan seni budaya bangsa, karena itulah lembaga ini dalam kiprahnya tak mau meniru selain harus terus berinovasi mencari bentuk-bentuk baru untuk Indonesia. Meski demikian kesekretariatannya tetap di Indramayu.
Salah satu ciri khas pentas pembacaan puisi Medium Sastra & Budaya Indonesia, selalu menggunakan gaya tutur teater rakyat ‘Drama Tarling’. Seni Klasik yang bermigrasi dari gamelan ke gitar dan suling ini hingga kini masih bertahan menjadi kesenian yang khas dari Indramayu dan Cirebon. Namun demikian MS&BI hanya mengambil esensi besar pada Tarling yaitu pada unsur musik dan tembang yang kemudian dipadukan dengan karya sastra baik berupa puisi jawa (gurit), suluk, tembang, kidung, jawokan serta guritan yang dipadukan dengan puisi berbahasa Indonesia. Gaya pembacaan yang khas ini dimotori oleh Nurochman Sudibyo YS. Sejak tahun 80-an setiap kali mengikuti lomba baca puisi selalu menjadi juara baik di daerah maupun di berbagai kota lainnya. Di mulai dengan membaca puisi dengan ilustrasi beriramakan suling khas Dermayu/Indramayu. Gagasannya ini kemudian menempatkannya sebagai Pemuda Pelopor bidang pembangunan seni budaya dan pariwisata tingkat Provinsi Jawa barat dan nominator ke 2 di tingkat nasional tahun 1996-1997.
Selanjutnya Nurochman Sudibyo YS pun dikenal dengan sebutan sastrawan yang menghasilkan karya puisi, cerpen, esai dan catatan budaya. Ia dikenal pula sebagai Pembaca Puisi Kiseran, karena setiap membacakan puisi selalu dihiasi dengan suluk, tembang dan jawokan gaya irama tarling kiseran. Karena sering di undang ke berbagai kota dan daerah, Sejak itu ia pun diberi gelar Ki Tapa Kelana. Posisinya selain pembaca puisi di berbagai even juga diminati masyarakat Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal sampai Bekasi, utamaya di minta memberi kidungan Dermayonan ditambah dengan pembacaan puisi. Lagi lagi irama pengiringnyapun live gamelan, suling atau rekaman yang ada di memori HP, CD dan Mp3. Kiseran sendiri maknanya adalah ungkapan cerita dalam bentuk tembang bernuansa sastra yang mengemukakan perasaan suka maupun duka secara bebas dengan laras tarling irama kiser.
Sejak tahun 2000 setiap datang hari ulang tahun Nurochman Sudibyo, MS&BI melakukan Pentas Malam Pembacaan Puisi Multimedia di kota Indramayu yang saat itu biasa disebut pembacaan puisi kiseran. Meski tanggal kegiatannya 24 Januari dan bertepatan dengan musim penghujan, namun acaranya selalu sukses walau digelar di luar gedung, bahkan beberapa kali dilakukan di tengah sungai Cimanuk dan sekitarnya. Diantara pentasnya antara lain; “Perompak Indrajaya 2001, Aja Mbluya-2002, Perang Potret-2003, Waduk Bojong-2004, Mak Njaluk Mangan-2005, Gurit ‘44-2006, Blarak Sengkle -2007, Godong Garing Keterjang Angin-2008, Bahtera Nuh -2009, dan Pring Petuk Ngundang Sriti-2010”, semua di gelar di Kota Indramayu di bantaran Kali Cimanuk. Selain pentas di agenda tahunan di tahun 2006 MS&BI diundang untuk pentas “Negeri Cantik” di pembukaan Pameran seni lukis SP Hidayat di Musium Nasional Jakarta, dan di tahun 2008 Pentas “Negeri Para Pejuang” di pembukaan Pameran Tunggal seni lukis Karya Dirot Kadirah di gedung utama Galeri Nasional.
Mulai tahun 2010 hingga tahun 2013 banyak diundang pentas pembacaan Tarling Multimedia, diantaranya di Bojonegoro dengan Lakon Pangikat Serat Kawindra, di Kota Tegal dan Slawi dengan lakon yang sama Pangikat Serat Kawindra. Berikutnya diundang di Pentas sastra Kedai Lalang Jakarta dengan Lakon Pangikat Serat Kawindra, di Taman Siswa Yogyakarta dengan lakon Kupu Mabur Golet Entung, di Komunitas Sastra Reboan dalam lakon Negeri Corong Renteng, di TIM dalam lakon Bintang Anak Tuhan, di Taman Budaya Surakarta “Pangikat Serat Kawindra”, di Indramayu “Kembang Suket”, di Pembukaan Art Semarang “Sintren Beken”, di Pasar Malam Jawa Tengah Semarang “Negeri Corong Renteng”, di Pati “Indonesia Kesurupan”, di PPIB kota Tegal “Sedulur Papat Lima Pancer”, di Cirebon “Tragedi Kurusetra”, di Pertemuan Sastrawan Nusantara Palembang “Negeri Corong Renteng”, di STSI Bandung “Negeri Corong Renteng” Pertemuan Sastrawan Makasar “Bersatu Pujangga Nagari Bhahari”, di Galeri Nasional “Sedulur Papat Lima Pancer”, Pembukaan Kongres Bahasa Jawa, di Surabaya dengan Lakon Negeri Corong Renteng,” di Slawi Kab. Tegal dipentaskan “Tumandhange Sinatria Bhayangkara”, dan berlanjut baru-baru ini menggelar pembacaan puisi Tarling Multi media dengan lakon: Puisi Menolak Korupsi dimulai di kota Blitar, Semarang, Surakarta, Jakarta dan Purworejo.
Selain memenuhi panggilan pentas besar dan kecil, sesuai dengan kemajuan zaman Medium Sastra & Budaya Indonesia pun menyajikan bentuk pemanggungan pembacaan puisi dengan tetap beriramakan Tarling, meski kadang diiringi musik gamelan, orkes keroncong, dangdut, organ tunggal, bahkan berbagai musik modern lainnya. Disebut multi media karena dalam pentas pembacaan puisinya kerap kali menggunakan berbagai media sebagai kekuatan pendukung, seperti; wayang kulit, wayang golek, wayang suket, wayang tutus, wayang kertas, wayang padi, wayang ikan asin, topeng, dan dihiasi pula dengan berbagai jenis tari klasik, kontemporer, seni lukis, dan property visual lainnya. ***
Pentas Sedulur Papat Lima Pancer di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki ini adalah undangan kedua setelah lakon ini sebelumnya digelar dalam puncak Pesta Festival Teater Indonesia di Galerry Nasional 2012 lalu. Atas keberhasilan pentas tersebut ketua panitia Anugrah Seni Cipta Budaya 2013 Ari Batubara kembali mengundang Medium Sastra & Budaya Indonesia yang bersekretariat di Jl Jndral Sudiran 69 Indramayu untuk tampil menjadi salah satu dari 10 jenis kesenian hasil cipta budaya creator Indonesia.
Tarling Multi Media adalah nama yang diajukan pihak panitia mengingat Nurochman Sudibyo YS alias Ki Tapa Kelan selaku penyusun cerita dan sutradara pagelaran member kebebasan kepada audien yang menilai dan member nama. “ Saya pada intinya mempersembahkan sebuah pertunjukan baca puisi yang lain dari yang lain. Jika di Makasar kami disebut Wayang Tarling, Di Indramayu pentas Kiseran jika semata baca puisi saja. Pentas Wayang Gondrong ankala medianya beraneka macam. Pendek kata Pembacan kary sstra multi media adalh sebentuk cara mensosilissikn kary gabungn dari berbgi aspek puisi, gurit, mantra, jawokan, pantun, parikan dan seluruh unsure peninjang lain seperti seni rupa, seni musik dan seni drama. Semua itu tersaji dalam kekentalan tembang klasik yang berbuansakan tarling dn lagu-lagu bernafaskan dendang pantura.
Pentas Tarling Multimedia digelar persis di malam puncak penyerahan Anugrah Cipta Budaya dari atas nama Gubernur Jakarta melalui Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jakarta Bapak Ari Budhiman diberikan pada Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia Nurochman Sudibyo YS. Anugrah Cipta Budaya tersebut diraih atas dedikasi dan kesetiaannya menggeluti kesenian yang terus diperjuangkan hingga kini.

Nana Riskhi Susanti

Nana Riskhi Susanti
Nana Riskhi Susanti (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 2 Oktober 1990; umur 23 tahun) adalah salah seorang sastrawati Indonesia yang mengawali debutnya di usia muda. Sejak duduk di SMA Nana sudah menulis puisi, cerpen, dan artikel seni-budaya. Berbagai penghargaan juga pernah dia terima, dari tingkat daerah hingga tingkat Asia Tenggara. Nana menyelesaikan kesarjanaannya di Unnes pada tahun 2011, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan predikat cum laude
Selama perkuliahan, Nana aktif bergiat di bidang kesusastraan melalui pertunjukan seni baca puisi, menulis artikel-artikel sastra dan perempuan, menulis puisi, dan mengikuti berbagai perlombaan yang diselenggarakan di berbagai tingkatan. Oleh karena konsistensinya di bidang bahasa, Nana menerima kepercayaan sebagai Duta Bahasa Jawa Tengah dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Saat ini Nana tengah menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia pada jurusan Susastra sembari bekerja sebagai reporter untuk program Potret Liputan 6, SCTV. Waktu luangnya dihabiskan untuk mengasuh Sekolah Cinta Bahasa dan berbicara di berbagai seminar kebudayaan.
60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 Anugerah Sastra Pena Kencana sebagai Penyair Nominator. (Gramedia, 2009).
Aku Ingin Mengirim Hujan. (Kumpulan Puisi Dewan Kesenian Semarang, 2008).
Anak-Anak Peti. Kumpulan Puisi. (Komunitas Sastra Indonesia Cab. Ungaran, 2009).
Persetubuhan Kata-Kata. (Kumpulan Puisi Penyair Jateng 5 Kota. Taman Budaya Jateng, 2009).
Tuah Tara No Ate (kumpulan cerpen dan puisi Temu Sastrawan Indonesia IV, Ternate, 2011)
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
Medali Emas Tangkai Lomba Baca Puisi (kategori putri) pada Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) X, Pontianak, 2010.
Medali Perak Tangkai Lomba Penulisan Puisi pada Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (Peksiminas) X, Pontianak, 2010.
Medali Emas pada Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKMGT) dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII 2009 di Universitas Brawijaya
Terbaik III Lomba Menulis Surat Buat Presiden dan Wakil Presiden Terpilih (2009-2014) tingkat Nasional Kategori Pelajar/Mahasiswa dengan surat berjudul Toko Batik Online dn Desa Wisata untuk Indonesia
Terpilih sebagai 20 duta terbaik penulisan esai nasionalisme tingkat nasional yang diadakan Tempo Institute, dengan esai berjudul Wanurejo, The Sense of Java ( Sebuah Model Pengembangan Desa Wisata di Indonesia)
Duta Bahasa Jawa Tengah tahun 2009
Duta Bahasa Indonesia Tingkat Nasional (Bidang Pembinaan Bengkel Sastra Nusantara) Tahun 2009
Peraih Piala Rendra (Juara 1 Lomba Baca Puisi Tingkat Nasional) Tahun 2009.
Aktris Terbaik Festival Monolog Tingkat Nasional tahun 2006.
Juara 1 Lomba Baca Puisi Tingkat Umum Se-Jawa Tengah, Dewan Kesenian Jawa Tengah, tahun 2006-2009.
Juara 1 Lomba Fotografi Bertema “Potret Pendidikan Dalam 10 Tahun Reformasi” tahun 2008.
Penyaji Hasil Penelitian Tingkat Nasional pada Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian pada PIMNA XXI 2008.
Penyair Muda Terbaik Versi Komunitas Salihara tahun 2009.
The Best of The Best Declamator pada Festival Baca Puisi tingkat Internasional tahun 2007.
Nominator Penyair Terbaik pada Anugerah Sastra Pena Kencana 2009.
Penyair panggung terbaik II se-asia tenggara, 2011

Mengenal Dwi Ery Santoso

Dwi Ery Santoso
Dwi Ery Santoso (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 21 September 1957; umur 56 tahun) adalah salah satu tokoh teater di Jawa Tengah. Ikut membidani berdirinya Teater Puber. Aktif berteater sejak masih di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Tegal. Selain itu dia juga menulis puisi. Karya-karyanya banyak termuat di media massa.
Setelah hengkang dari Teater Puber, ia melanjutkan kiprahmya di Teater Massa Hisbuma dan meraih prestasi sepuluh besar dalam Festival Teater Nasional, memperebutkan Trophy Ibu Tien Suharto di Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta Selatan lewat lakon Surabaya Berguncang, karya Haryo Guritno (1985). Beberapa kali mengikuti Festival Teater Jawa Tengah di PKJT Taman Budaya Surakarta dalam lakon: Pelangi Sajeroning Ati sebagai penulis naskah dan Sutradara, dengan prestasi sebagai Penyaji Terbaik 3 (1997), Apologi Senja Hari sebagai penulis Naskah dan Sutradara, meraih prestasi sebagai Penyaji Harapan (1999), Martoloyo–Martopuro karya Eko Tunas sebagai Sutaradara terbaik 1, Aktor Pembantu Putra terbaik 1, Artistik terbaik 1 dan Penyaji Grup terbaik 2 (2002).
karya ;
Antologi Puisi Nelayan–Nelayan Kecil terbitan Teater Massa Hisbuma (1997)
Antologi Puisi Muara Bercahaya terbitan Teater Massa Hisbuma (2005)
Kumpulan Puisi Tegalan Brug Abang terbitan Dewan Kesenian Kota Tegal (2007)
Parade Puisi Tiga Kota: Tegal, Jogya, dan Jakarta Bersama Emha Ainun Najib, Yoyik Lembayung dan Eko Tunas (1985)
Antologi Jentera Terkasa dalam Pasar Puisi 2000 Terbitan DKJT DAN Taman Budaya Surakarta.
Antologi Puisi Juada Pasar bersama 52 penyair Tegal, terbitan Dewan Kesenian Kota Tegal (2002).
Antologi Puisi dalam rangka Khaul 1000 hari wafatnya Piek Ardijanto Soeprijadi (2004).
Kumpulan Puisi ”Mimbar Penyair Tegal (2005).
Antologi Puisi Potret Reformasi Dalam Puisi Tegalan Terbitan Koran Tegal-Tegal (2000).
Kumpulan Puisi Tegalan Ngambah Paran, Terbitan Komunitas Sastra Tegal (2007)
penghargaan :
Apologi Senja Hari, Naskah Terbaik1 Lomba Penulisan Naskah Drama Tingkat Jawa Tengah (2007)
Cahaya Cahaya, Juara 1 Cipta Naskah Monolog tahun (2005)
Penyaji Terbaik 3 dalam lakon Pelangi Sajeroning Ati sebagai penulis naskah dan Sutradara (1997)
Penyaji Harapan dalam lakon Apologi Senja Hari (1999)
Sutradara Terbaik 1 dalam lakon Martoloyo–Martopuro karya Eko Tunas (2002).

Ibu Takan Kecewa,

Ibu Takan Kecewa
melihat nilai raportku " A "
sehingga ibu tak menghitung piring nasi sarapan pagi
dan membelikan baju seragam dari telor mata sapi setiap hari
ia tak makan enak hanya untuk anak
dan yang dicucinya setiap hari
piring kotor dan kaos kaki.
Ibu takan kecewa
dengan nilai ijazahku "A"
membelikan toga yang sekali pakai
dan tak menghitung lagi transver bulanan
atau ketika aku mengarang kebutuhan
serta fotocopy ribuan lembar
Ibu takan kecewa
walau aku belum dapat kerja
itu bukan nilai raportmu
Ibu tahu aku mendapat "A" di setiap seleksi penerimaan kerja
Ibu tak kecewa
Jumat,19-12-2014 Rg Bagus warsono

Cahaya Islam Karya: Susilo Bambang Yudhoyono

Cahaya Islam
Karya: Susilo Bambang Yudhoyono

Kukabarkan kepadamu wahai semua insan
Islam, penabur rahmat bagi semesta alam
Dalam salam dan kedamaian
Dalam tutur dan kebenaran
Dalam teguh dan keadilan
Merangkai hidup, membangun persaudaraan
Islam yang difirmankan Tuhan
Bukanlah seikat simbol yang kering hakiki
Tetapi nilai, pancaran tuntunan sejati
Yang tak patut disiasati
Apalagi untuk kepentingan pribadi
Cahaya Islam, engkaulah cahaya keagungan
Cahaya Islam, engkaulah peneduh kehidupan
Tidakkah kau lengkapkan jalan menuju kebijakan
Dalam keindahan firmanMu ya Tuhan
Dalam kesejukan sabdamu ya Rasul
Dalam cahaya,
Sinar suci yang penuh kemuliaan
Jakarta, 1 Februari 2004
(Diambil dari buku dua kumpulan puisi, “Membasuh Hati di Taman Kehidupan” karya Susilo Bambang Yudhoyono)

Status Hamba Gaya Penguasa

Status Hamba Gaya Penguasa
Tidakkah judul ini sebenarnya potret diri kita semua?
Status mungkin hanya hamba tapi sikap serta gaya?
Bah … bisa jauh lebih dahsyat dari sang penguasa.
Yang benar-benar penguasa tentu tak berpura-pura
Kala bersikap dan bergaya layaknya yang berkuasa,
Karena dia memang benar pemegang otoritas kuasa.
Tentukan ini putuskan itu, karena memang tugasnya.
Tapi yang jelas-jelas bibir deklarasikan status hamba
Namun dalam dunia nyata, entah memang berdusta,
Entah lupa, atau entah bagaimana, lagak serta gaya
Dapat jauh lebih hebat tegak menjulang ke angkasa
Pamerkan otoritas tunjukkan kuasa, ini lho si akunya.
Yang masih ragu dan tak percaya, ini jika benar ada,
Seharusnya segera saja balik kembali status semula.
Hamba ya hamba, tugasnya melayani, taat dan setia.
Mengapa? Karena bahkan nabi mulia utusan surga,
Seperti dicatat muridNya, dengan tepat berwibawa
Sampaikan sebuah cerita hebat khas utusan surga,
Yang sangat jelas, gamblang serta nyata, sehingga
Si bebal pun sulit sekali untuk tidak bisa mencerna.
Suatu ketika kala tiba masanya sang raja penguasa
Memanggil seorang penghutang yang jelas hamba,
Terjadi peristiwa yang pada awalnya mungkin biasa,
Tetapi pada ujung akhirnya benar-benar tak terduga.
Sang hamba si penghutang, sakunya kosong hampa.
Jangankan bayar pokoknya, bunganya saja tak ada.
Dia menangis mengiba-iba, memohon pada si raja
Agar sekali lagi diberi kesempatan guna berusaha.
Raja tergerak hatinya, belas kasihan dan penuh iba,
Akhirnya tak hanya memberi kesempatan si hamba
Guna bebas berusaha tapi benar-benar ria merdeka.
Bunga dan pokoknya oleh raja dihapus begitu saja,
Padahal nilainya, dengan kurs yang kian menggila,
Pastilah hampir mencapai sembilan digit angkanya.
Sang hamba tentu saja ria gembira tak terkira-kira,
Beban berat di dada berubah seringan bulu angsa.
Wajah semringah, bibir merekah, lalu sembah puja
Setelah dihaturkan berulang kali di depan sang raja,
Mengiringi langkah ringannya keluar dari balai istana.
Raja yang pemurah, hamba yang bersuka, itu intinya.
Tetapi apa yang terjadi kemudian tepat di luar sana?
Benar-benar dahsyat luar biasa, beginilah jika hamba
Mengubah lagak dan gaya sebagai sang penguasa.
Berjumpa dengan sesama yang berhutang pada ia
Tidak terlalu besar jumlahnya, digit empat atau lima
Tetapi dengan gaya penguasa nan penuh angkara,
Baju dipegang, mata murka, dan gertak membahana,
Hai … ayo bayar semua, sudah lama menunggaknya.
Sesama yang juga hamba, merengek minta ditunda,
Tetapi karena sudah berubah jadi penguasa angkara,
Mana ada kata tunda, lunasi sekarang atau penjara.
Tetapi dengan kocek kosong hampa bagaimana bisa?
Permohonan penuh iba terus dilontar mohon maafnya.
Tetapi jawab yang diterima semakin memilukan dada.
Istri anak kan masih ada, mengapa tak itu dijual saja?
Mereka memang menjadi budak, tetapi itu resikonya.
Benar-benar si raja tega, tak ada ampunan tersedia.
Hamba tak berdaya terus ditekan hamba penguasa,
Cucuran bening air mata, rintihan pedih jiwa sukma,
Tatapan cemas tanda tak berdaya, sirna begitu saja.
Bahkan bekas-bekasnya tak ada pada sang durjana.
Bagaimana bisa ia yang baru saja menerima karunia
Seluas samudera, diminta satu tempayan kecil tirta
Tak hanya menolak malah semakin berkobar murka?
Yah begini jika status hamba, lagak gaya penguasa.
Lalu apa yang terjadi berikutnya kala berita angkara
Sampai ke telinga raja? Amarah murka getar istana.
Si hamba jahat yang asyik berlagak bak penguasa,
Ditangkap, dimurka, lalu ya dijebloskan ke penjara.
Kau yang tidak tahu terima kasih tetap ada di sana
Sampai semua hutangmu padaku lunas tak bersisa.
Kertak gigi, tangis pedih, sesal pun tidak ada guna.
Inilah jika status hamba tetapi lagak gaya penguasa.
Kejam tak terkira-kira, arogannya cetar membahana
Membuat semua menggeleng tanda tidak percaya.
Memang Putra mulia guna besarkan hati muridNya
Pernah bersabda … Kamu tidak lagi disebut hamba
Sebab hamba tak tahu apa yang diperbuat tuannya.
Aku sebut kalian sahabat, karena semua dari Bapa
Telah kusampaikan serta kuberitahukan tanpa sisa.
Sahabat memang luar biasa karena seperti setara,
Tetapi tetap saja, walau hati sangat riang gembira,
Karena boleh menjadi sahabat si penyelamat dunia,
Kita semua adalah sahabat yang berstatus hamba,
Karena hanya dengan setia berstatus seperti semula
Walau sebenarnya telah bebas merdeka karena Dia,
Peluang menangkan banyak hati dan jiwa … terbuka.
Dr. Tri Budhi Sastrio

Mengenal Eddy D. Iskandar

Belum Ada yang Mengalahkan Eddy D. Iskandar dalam Jumlah Mengarang Novel Sampai saat Ini
Eddy D. Iskandar (lahir di Bandung, Jawa Barat, 11 Mei 1951; umur 63 tahun) adalah seorang sutradara dan penulis Indonesia. Ia juga mengelola Mingguan berbahasa Sunda "Galura".
Minat menulis Eddy diawali dari hobinya membaca buku. Sejak kecil ia terbiasa membaca buku yang di pinjam di perpustakaan umum untuk bacaan orang tuanya. Beberapa karya penulis besar, seperti Motinggo Busye, Toha Mohtar, Mochtar Lubis, Marah Roesli, Sutan Takdir Alisjahbana, Usmar Ismail hingga Pramoedya Ananta Toer kerap dibacanya.
Tulisan pertamanya yang berjudul Malam Neraka hadir secara tidak sengaja saat ia mengikuti orientasi mahasiswa baru di Akademi Industri Pariwisata (AKTRIPA) Bandung, pada tahun 1970. Tulisan tersebut di muat di Mingguan Mandala yang redaktur budayanya pada saat itu adalah sastrawan Muhammad Rustandi Kartakusumah. Sejak saat itu, ia mulai rajin menulis beragam tulisan, esai, dan puisi.
Pada tahun 1975, setelah menyelesaikan kuliahnya di Akademi Industri Pariwisata (AKTRIPA) Bandung, ia pergi ke Jakarta guna menekuni dunia film di Akademi Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kini dikenal sebagai Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta. Ia ingin menjadi sutradara. Film dianggapnya sebagai media yang paling mudah mempengaruhi dan melihat berbagai sisi kehidupan masyarakat.
Di Jakarta, ia kerap berada di Taman Ismail Marzuki yang dikenal sebagai gudangnya penulis dan seniman. Namun, bukan menjadi sutradara, ia justru semakin matang sebagai penulis serba bisa. Selain bergaul dengan seniman dari segala profesi, ia juga sering menyaksikan beragam pementasan di TIM. Eddy juga turut bergabung dalam grup wartawan Zan Zapha Grup yang beranggotakan para penulis muda sepertu El Manik dan Noorca M. Massardi. Tulisan-tulisannya kemudian di distribusikan ke berbagai media cetak, terutama majalah populer.
Eddy menikah dengan Evi Kusmiati, dikaruniai tiga orang putri Dini Handayani, Novelia Gitanurani, Asri Kembang kasih dan satu orang putra Andre Anugerah. Sampai saat ini ia tetap produktif menulis termasuk menulis sekian banyak skenario sinetron dan film.
Karya tulisnya yang fenomenal, berjudul Gita Cinta Dari SMA dimuat sebagai cerita bersambung di majalah GADIS pada tahun 1976. Karyanya ini banyak menuai pujian. Atas permintaan pembaca, ia membuatkan cerita sambungannya Puspa Indah Taman Hati. Novel Gita Cinta Dari SMA juga diangkat ke layar lebar yang mengorbitkan pasangan, Rano Karno dan Yessy Gusman. Novelnya yang lain, yang berkisah tentang cinta antara tokoh Galih dan Ratna itu juga pernah di reka ulang dalam bentuk sinetron bersambung yang di tayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Tahun 2004, ia kembali merilis novel Gita Cinta Dari SMA, Pada tahun 2010, Gita Cinta Dari SMA kembali di angkat sebagai drama musikal berjudul "Gita Cinta The Musical".
Novelnya yang lain, yang juga meraih sukses di pasaran antara lain Cowok Komersil, yang berhasil dicetak enam kali dalam setahun dengan rata-rata 5.000 buku percetak. Selanjutnya novel Semau Gue diminati sineas film dan menjadi film bertabur bintang, seperti Rano Karno, Yessy Gusman dan Yenny Rachman. Sementara novel dengan 100 halaman berjudul Sok Nyentrik yang di selesaikannya hanya dalam kurun waktu sehari, tercatat berhasil berkali-kali cetak ulang. Salah satu kekuatan novel karya Eddy D. Iskandar karena daya ungkap dan dialognya yang mengalir lancar dan tetap aktual, tidak berpengaruh oleh perubahan trend.
Atas dedikasinya yang besar dibidangnya, tercatat beberapa kali ia meraih penghargaan, diantaranya mendapat nominasi untuk skenario jenis komedi untuk Si Kabayan pada FSI 1997, Penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung 2010 dalam bidang Film dari pemerintah Kota Bandung dan Penghargaan Anugrah Seni Budaya Jawa Barat (2010).