Resensi Buku Kumpulan Kritik : Negeri Api Berlangit Puisi. oleh Rg. Bagus Warsono

Meski ini buku terbit 2013 tetapi buku ini sangat bagus mengingat hal yang sangat diharapkan bagi pertumbuhan sastra di negeri ini. Sebab sastra tampa kritik seakan sayur asem yang kurang bumbu. Adalah kumpulan kritik dari Komunitas Sastra Indonesia yang dijaring melalui Sayembara Kritik KSI 2013. Inilah buku hasil itu. Betapa jarang orang membuat kritik sastra bahkan kurang diminati pecinta sastra pemula, sehingga upaya KSI untuk menggairahkan keseimbangan antara karya sastra dan kritik patut mendapat apresiasi yang tinggi.
Buku ini tampak berbobot dikarenakan buah dari seleksi yang justru dilakukan oleh tokoh-tokoh KSI yang sudah cukup punya nama . Dan buku memenuhi kreteria buku yang dapat dijadikan bahan studi dan rujukan karya sastra.
Pengantarnya pun ditulis oleh Ahmadun Yosi Herfanda, sedang beberapa yang terlibat dalam buku ini ada Iwan Gunadi, Hasan Bisri BFC, dan Bambang Widyatmoko, serta para pemenang sayembara itu Ahmad Syauqi Sumbawi , dkk.
Tentu saja Anda tak akan mengatakan apa pun sebelum membaca bukunya, karena itu alangkah lebih baik kita baca sekali lagi dan Anda bisa membuat kritik yang lain untuk perkembangan sastra kita.

Kita Semua Peminta-minta oleh Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Sidoarjo, 31 Januari 2015

Kita Semua Peminta-minta
Dengan ini saya nyatakan saja kita semua peminta-minta.
Semua, ya semua, tidak ada yang terkecuali, anda, saya,
Mereka, pokoknya siapa saja … labelnya peminta-minta.
Jika ada yang bersikeras menolak serta tidak mau terima,
Maka hanya ada dua kemungkinan saja bagi ini manusia.
Kalau bukannya berdusta, maka dia bodohnya luar biasa.
Untuk yang berdusta perbincangannya bisa amat segera.
Sedangkan bagi yang bodohnya luar biasa, kiat berbeda.
Tetapi sebelum itu mungkin perlu diingatkan pada semua
Bahwa jubah peminta-minta beragam dan berbeda-będą.
Yang jubahnya jelas peminta-minta ya tidak perlu ditanya,
Karena miskin dan tak berdaya, meminta-minta solusinya.
Hanya saja janganlah salah terka, yang jubahnya kentara
Ternyata banyak juga tingkatan, strata, tipe dan kelasnya.
Ada koordinator, ada pengawas, ada mandor, ada kepala.
Yang lain harus bekerja keras mengiba di jalan-jalan raya,
Yang lain bisa ongkang-ongkang menarik kumpulan dana.
Itulah fakta dan realita dunia peminta-peminta yang nyata.
Menarik dibincang menarik dibicara, tapi yang berikutnya
Jelas lebih semarak serta membahana getaran cetarnya,
Karena pasti tak banyak menduga mereka juga peminta.
Ada yang berjubah ibu rumah tangga tapi peminta-minta;
Ada yang berjubah pegawai swasta, tapi intinya ya sama,
Peminta-minta dari pagi sampai petang, dari petang tiba
Sampai fajar bercanda dengan surya, yah peminta-minta.
Juga ada yang berjubah pengusaha sukses si orang kaya,
Tapi setelah ditelisik dengan cermat, peminta-minta juga.
Malah parahnya, gaya peminta-mintanya plus memaksa,
Dan semua tahu, gaya memaksa orang kaya dampaknya
Bisa berpuluh kali lipat orang biasa, semua tidak berdaya.
Lalu peminta-peminta yang mengenakan jubah penguasa.
Gaya pengena jubah yang ini lebih dahsyat lagi akibatnya.
Bayangkan si peminta-minta memiliki otoritas serta kuasa.
Kalau peminta-minta biasa paling-paling ya meminta saja.
Kalau tidak diberi, bersungut-sungut tetapi tidak bisa apa.
Tetapi karena si peminta-minta miliki otoritas serta kuasa,
Pada awalnya akan pergi dengan bersungut-sungut juga,
Tetapi pasti akan segera kembali dengan jubah saktinya.
Jubah sakti bersulam gambar dewa membawa gandawa
Siap menghajar kepala siapa saja yang berani-beraninya
Entah dengan alasan apa menolak permintaan suci mulia.
Lalu hadir juga peminta-minta kenakan jubah para dewa.
Bayangkan saja, dewa … ya dewa yang penentu segala,
Eh ternyata peminta-minta juga, lalu bagaimana jadinya?
He … He … He … dunia tentu saja kelabakan dibuatnya.
Menolak tak bisa, memberi kok ya keterlaluan namanya.
Bayangkan, ini dewa kaya, penguasa, punya segalanya,
Masih juga meminta-minta dan sasarannya, ya manusia.
Yang konyol tentu saja manusianya, walau ada upahnya
Dan konon upahnya itu sesuatu yang indah, abadi, mulia,
Tetapi ya tetap saja, yang namanya diminta tak sukarela
Gerutu, sungut-sungut, dan omelan pasti akan selalu ada
Yang lebih celaka manakala manusia yang kartu labelnya
Peminta-peminta, memaksa dan jadikan Tuhan targetnya.
Ini benar-benar celaka, karena jelas merupakan pertanda
Betapa serakah serta tidak tahu terimakasihnya manusia.
Manusia diberi berkat serta karunia sesuai kehendakNya.
Bahkan pada diri manusia yang paling menderita dan hina
Berkat dan karunia itu tampak nyata dalam kelebihannya,
Sehingga mereka tidak perlu meminta apa-apa dari Bapa.
Semua sudah ada, semua sudah sesuai dengan titahnya.
Untuk apa, ini kata yang paling menderita dan hina dina,
Harus meminta-minta kepada Bapa agar hidup sejahtera,
Mulia, dan bahkan kaya raya, jika dalam derita dan hina
Aku merasa sudah amat sejahtera, mulia, dan kaya raya?
Dalam penderitaan dan kehinaan aku lebih khidmat jiwa
Memuji dan memuliakan Dia serta semua kehendakNya.
Penderitaan dan kehinaan itu berkat serta karunia mulia
Yang dianugerahkanNya, lalu kan benar besar salahnya
Jika diberi tugas mulia menjadi yang hina dan menderita
Eh malah terus saja merengek, merajuk, meminta-minta
Sesuatu yang justru sebaliknya … yah bagaimana bisa?
Semakin celaka jadinya jika yang menjadi peminta-minta
Mereka yang sebenarnya sudah sejahtera dan kaya raya.
Tengok saja doa yang dipanjatkan mereka berlama-lama.
Bukannya berdoa meminta petunjuk bagaimgana caranya
Menggunakan harta berlimpah miliknya supaya berguna,
Eh malah meminta tambahan harta, tambahan sejahtera
Walau mungkin saja sudah ucapkan syukur sebelumnya.
Lalu jika nanti semakin sukses membubung ke angkasa,
Dengan pongah berkata, lihat, ternyata sang mahakuasa
Mengabulkan semua doa, memberi semua yang diminta,
Dan bukankan ini jadi pertanda bahwa sang mahakuasa
Berkenan pada semua permintaan dan doa si kaya raya?
Tentu ada perkenan di dalamnya, jika tidak ya mana bisa.
Dan seperti yang dicatat dalam kitab suci anugerah mulia
Dari Allah memang untuk semua, hina mulia, miskin kaya,
Semua memperoleh karunia, ini sabda, inilah catatanNya.
Menjadi peminta-minta tentu saja tak apa-apa, mengapa?
Karena ternyata semua manusia, miskin kaya, hina mulia,
Semuanya suka dan senang meminta-minta, ini faktanya.
Yang mungkin harus diingatkan, peminta-minta rekayasa.
Belajar menerima apa yang sudah ada … pasti luar biasa.
Berusaha? Ya boleh saja, tapi jangan dasarnya tak terima
Pada apa yang diberikan Dia sebagai berkat serta karunia.
Dan ini tidak jauh beda dengan apa yang pernah disabda
Oleh sang nabi mulia utusan surga yang kemudian dicatat
Dalam kitab suci sebagai satu ayat terdahsyat wibawanya.
Jangan seperti mereka, kataNya, Bapamu sudah tahu apa
Yang kalian perlukan, bahkan sebelum kalian memintanya.
Jika demikian adanya, lalu untuk apa terus meminta-minta
Bahkan dengan gaya tengik menjengkelkan seluruh surga?
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Sidoarjo, 31 Januari 2015

Sofyan RH. Zaid: Melanjutkan Sejarah

Sofyan RH. Zaid:
Melanjutkan Sejarah
Rg Bagus Warsono adalah salah satu -dari sedikit orang- yang
sadar pentingnya dokumentasi (sastra) untuk berlangsungnya
sebuah sejarah, sebab –meminjam kalimat Maman S Mahayana-
lupa dokumentasi, maka tuna sejarah.
Kesadaran tersebut diwujudkan dengan cara mengundang para
penyair indonesia mengirimkan puisi dengan tema tertentu dan
diseleksi, kemudian secara mandiri dikumpul-terbitkan dalam satu
buku tiap tahunnya. Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia jilid I dan
II adalah buku yang telah beredar di khalayak, selanjutnya jilid III ini.
Terlepas dari buku tersebut sebagai dokumentasi sastra atau bukan,
upayanya layak mendapat apresiasi yang tinggi. Sebagaimana
lazimnya buku dokumentasi sastra yang lahir dan menjadi
perdebatan yang hangat, pro dan kontra tidak bisa dihindari; siapa
nama-nama yang masuk dan siapa yang melakukan dokumentasi
Namun hal itu merupakan sesuatu yang wajar sebagai sebuah
dinamika, pertanda sastra masih ada.
Hanya di antara riuh perdebatan dan kritik pedas itu, kita kadang
lupa bahwa H.B Jassin sekalipun yang dikenal sebagai kritikus
adalah sosok yang sabar melakukan kerja dokumentasi sepanjang
hidupnya. Bayangkan jika H.B Jassin tidak pernah ada dalam sejarah
sastra kita. Itulah kenapa A Teeuw sangat yakin bahwa; kerja
pertama seorang kritikus sastra adalah dokumentasi karya.
Secara jujur, saya ucapkan terima kasih kepada Rg Bagus Warsono
atas perjuangan dan sumbangsinya bagi sejarah, selebihnya biarlah
sastra sebagai benda hidup budaya yang menunjukkan siapa diri
kita sebenarnya terus berjalan dan berubah, seperti perempuan
dan cuaca. “Pendek kata, saya tidak perlu ambil pusing mengenai
penilaian yang akan diberikan masa depan pada hasil karya saya,
karena saya tidak dapat berbuat apapun terhadap penilain itu,
kata Jean-Paul Sartre.11 April 2015

Anomali Bimasakti - Yuvan Y.

Anomali Bimasakti - Yuvan Y.
Ia ada sebagai penanda hari berganti
Riangnya masih terbawa usai menjadi saksi
Ialah hangat sapa cakrawala
Surya pagi, hari selasa
Semalaman mataku tak terpejam
Tengah larut melukis gemintang
Terjaga di luas langit yang kusam
Tanpa mahkota layaknya siang
Ada yang sembunyi kala itu
Tiada yang bersembulan kecuali gelisah
Langit kesepian, rembulan tengah cemburu
Gemintang pun retas, mereka gundah
Tadi malam ada cincin melingkari Bumi
Tak seperti biasa, ia pun nampak bahagia
Aku pun bertanya pada seisi Bimasakti
Rupanya Saturnus telah melamarnya.
Kediri, 2015.
@BejanaKata

Adalah Aku Saja - Yuvan Y.

Adalah Aku Saja - Yuvan Y.
Yang berserapah adalah sampah
Di mana pun ada sampah
Di sana-sini pun serapah
Sebagian serapah menujuku, adalah aku sebagai sampah. Maka tenanglah.
Benar adanya,
Kataku, katanya, kata mereka, kata kerja, kata sifat, kata apa pun jenisnya
Sampah!
Aku sampah
Dipersampahkan, mempersampahkan
Tetap saja sampah, adalah aku saja.
Aku selalu suka sinisme, sarkas, dan satire
Menurutnya untukku saja
Adalah sampah bentuk manusia
Bukan manusia bentuk sampah
Adalah anatomi berstruktur manusia
Tetapi sampah,
Adalah aku saja.
Kata siapa? Kata angin
Angin dari mulut sampah, menyerapahi sampah pada yang lain
Sampah serapah, bersampah-sampah
Rupanya memang sampah.
Pare, 2015.

17 Mei di pilih sebagai Hari Buku Nasional

17 Mei di pilih sebagai Hari Buku Nasional karena bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 1980.
Selamat Hari Buku Nasional.
Jadikan buku sebagai sahabatmu, jangan malu baca buku.
Jadikan membaca sebagai eksistensi, dengan buku kita menjadi tahu.
Salam Literasi. (Yuvan Y.)

Soetardji Calzoum Bachri

Nama:
Soetardji Calzoum Bachri
Lahir,
Riau, 24 Juni 1941
Agama:
Islam
Pendidikan:
FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara
Profesi:
Redaktur, Penyair
Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari 'presiden penyair Indonesia'. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.
Penyair kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan.
Kejutan pertama dari rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar dan buku ...Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan tulisan mengupas perjalanan sastranya. Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).
Kejutan tak terduga kedua ialah dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya berupa uang Rp 100 juta. Soetardji tentu berterimakasih atas apresiasi itu, walau dia terlihat biasa saja saat menerima hadiah Rp 100 juta itu. "Sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak mendapat apresiasi masyarakat," ujarnya berterimakasih. Menurutnya, dia termasuk beruntung karena mendapat apresiasi.
Ketua Dewan Kesenian Riau Eddy Akhmad RM, mengatakan, pihaknya menabalkan Juni sebagai bulan Sutardji. Penabalan ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya, pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dalam karyanya berjudul Ayo (1998) dia bertanya: Adakah yang lebih tobat dibanding airmata adakah yang lebih mengucap dibanding airmata adakah yang lebih hakekat dibanding airmata adakah yang lebih lembut adakah yang lebih dahsyat dibanding airmata. (Ayo, Sutardji Calzoum Bachri, 1998)
Soetardji membacakan puisinya pada malam terakhir dalam rangkaian Festival Nopember 1999, Rabu (17/11/1999). Euphoria reformasi, di tangan penyair, sepertinya telah mencapai titik antiklimaks. Pembacaan puisi malamitu adalah buktinya. Gelar baca puisi yang menampilkan 'presiden penyair Indonesia' Soetardji Calzoum Bachri itu jauh dari teriakan euphoria reformasi, dan jauh dari sajak-sajak sosial yang gusar.
Kalau belakangan ini hampir seluruh ekspresi seni nasional menyerukan perjuangan dan tuntutan rakyat atas dominasi kekuasaan pemerintah, maka malam itu di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), suara-suara para penyair -- juga pada sajak-sajak Abdul Hadi WM, Leon Agusta dan Ahmadun YH yang malam itu tampil bersama Soetardji -- lebih banyak mengendap dalam sajak-sajak yang kontemplatif.
Kalaulah Sutardji menyempatkan diri mengemukakan keprihatinannya atas perjuangan para mahasiswa melalui sajak Ayo, itu masih dalam jumlah yang kecil dibanding puisi-puisi lain yang juga dibacanya. Pun sajak-sajak hening yang dibawakan oleh Leon, Ahmadun, dan Abdul Hadi. Bahkan, Sutardji membacakan puisi romantis yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol tentang seorang perempuan lembut yang sarat cinta.
Pembacaan puisi-puisi kontemplatif itu terasa menyejukkan dan lebih mengena secara universal ketimbang sekadar sajak-sajak yang mereaksi peristiwa sosial-politik yang tengah terjadi di masyarakat. Sutardji yang membawakan beberapa karya terbarunya mengatakan sajak yang bermutu perlu proses pengendapan dan penghayatan, tak sekadar instan mereaksi yang ada. ''Ada atau tak ada peristiwa, sajak tetap bisa dibikin karena kita terus berpikir dan bertafakur,'' paparnya.
Namun, kalau berbicara soal gaya dan pembawaan bersajak, Sutardji tetaplah Sutardji. Edan, namun bermakna dalam. ''Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna,'' kata pengklaim diri Presiden Penyair Indonesia ini.
Menggandeng dosen IKJ Tommy F Awuy sebagai pengiring musik, Sutardji membaca sajak-sajaknya dengan ditingkahi denting piano. Tak ketinggalan pula suara seraknya menyanyikan beberapa lagu evergreen Barat, antara lain My Way. Dan, ini merupakan daya tarik tersendiri bagi 'penyair mantra' yang belakangan sering diledek sebagai calon presiden Riau itu.
Gayanya yang jumpalitan di atas panggung, bahkan berpuisi sambil tiduran dan tengkurap, seperti telah menempel menjadi trade mark Sutardji. ''Aku tak pernah main-main sewaktu membikin sajak, aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santai namun memiliki arti,'' katanya.
Apakah puisinya itu baik atau buruk, bagi Sutardji, ia berupaya dalam penyajiannya tak berjarak dengan penonton. ''Kehadiran sajak itu harus akrab dengan penonton, tak berjarak dengan kehidupan,'' tambahnya. Tapi, beberapa penonton menilai penampilan Soetardji kali ini tidak setotal ketika 'bertarung dalam satu panggung' dengan Rendra dan Taufiq Ismail tahun lalu. Soal ini, dengan nada kelakar ia berkilah, ''soalnya honornya kecil, ya tampilnya setengah maksimal saja.''
Penyair sufistik Abdul Hadi WM, yang membawakan sajak-sajak lama (1981-1992), menenangkan suasana dengan tuturan kecintaan pada Allah SWT dan kekhidmatannya pada masjid. Menampilkan delapan puisi dengan gaya kalem ia sempat juga mengkritik keras kualitas kader bangsa. Simak saja dari sepenggal karyanya berjudul Dalam Pasang yang dibacakannya. ''Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin. Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin. Kita.......''
Kritik serupa juga hadir dalam sajak berjudul Kembali tak Ada Sahutan Disana yang mengungkapkan bahwa suksesi yang tak berlandaskan pada kearifan dan keadilan sama halnya lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya. ''Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada. Dari generasi ke generasi. Menenggelamkan rumah sendiri. Ribut tak henti-henti....,'' ujar Abdul Hadi.
Berbagai interpretasi tak terhindarkan bermunculan dari karya kontemplatif. Saat Abdul Hadi membacakan puisi Elegi, muncul perkiraan adanya korelasi dengan kian nampaknya eksistensi para seniman bekas anggota ormas terlarang yang menjadi musuh para pendukung Manifes Kebudayaan.
Musuh-musuhku, namun sahabat-sahabat setiaku juga.
Saban kali datang melukaiku dan kemudian menyembuhkan:
''Mari kita bangun jembatan,'' dan kami pun segera membangun jembatan dan runtuh juga.
Mereka tak tahu dan aku pun sudah lupa ....
Dan seperti aku pula mereka adalah pemburu kekosongan dan kesia-siaan Mereka ingin membunuhku, karena mengira aku ingin membunuh mereka Aku ingin membunuh mereka karena mengira mereka ingin membunuhku Mari kita tolong mereka, mari kita tolong diri kita
Leon Agusta yang membuka acara pembacaan puisi ini tampil diam dan gagah. Membawakan beberapa puisi serial, ia mengajak penonton mengolah pikiran dan kebijakan atas segala fenomena kehidupan. Ayah peragawati kondang Hukla ini, tanpa banyak kata pengantar, menyajikan tuntas semua karyanya. Dari berbagai sumber, antara lain Republika 19 Nov 1999.
Karya Tulis:
O (1973),
Amuk (1977),
Amuk (1979),
O Amuk Kapak (1981)
Hujan Menulis Ayam (Kumpulan Cerpen, 2001)
Isyarat (Kumpulan Esai)
Penghargaan:
Kumpulan sajak Amuk (1977), memenagkan hadiah puisi DKJ 1976/ 1977
Hadiah Sastra ASEAN (1979),
Hadiah Seni (1993),
Anugerah Sastra Chairil Anwar dan dianggap sebagai pelopor angkatan 70-an (1998)
Anugerah Akademi Jakarta (2007
Labels: Puisi Sutardji Calzoum Bachri, Tokoh Sastra
Artikel Yang Berhubungan
Tokoh Sastra
Biografi Afrizal Malna
Biografi Acep Zamzam Noor
Biografi Widji Thukul
Cerpen dari Putu Wijaya "Laila"
Biografi Sanusi Pane
Biografi Sapardi Djoko Damono
Biografi Asrul Sani
Biografi Tengku Amir Hamzah Indera Putera
Biografi EMHA AINUN NAJIB
Biografi Putu Wijaya
Biografi W. S. Rendra
Biografi Chairil Anwar
SALAM DARI SAYA
Biografi Marah Roesli
Biografi Sutan Takdir Alisjahbana
Biografi Taufik Ismail
Puisi Sutardji Calzoum Bachri
Puisi HERMAN Karya: sutardji calzoum bachri
PARA PEMINUM Karya: sutardji calzoum bachri
Puisi Sutardji Calzoum Bachri - Satu
Puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Do'a
Puisi KUCING Sutardji Calzoum Bachri_ (Video)
Puisi TRAGEDI WINKA DAN SIHKA oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi SEPISAUPI oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi PARA PEMINUM oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi O oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi NGIAU oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi MANTERA oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi LUKA oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi LA NOCHE DE LAS PALABRAS (EL DIARIO DE MEDELLIN) oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi KUCING oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi JEMBATAN oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi KALIAN oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi GAJAH DAN SEMUT oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi BAYANGKAN oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi BATU oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi ANA BUNGA oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi AYO oleh Sutardji Calzoum Bachri
Puisi WALAU Karya Sutardji Calzoum Bachri
Puisi Tapi oleh Sutardji Calzoum Bachri
PUISI SUTARDJI CALZOUM BACHRI