Roman bagian pertama; Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana Minke sebagai aktor sekaligus kreator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Pram
menggambarkan sebuah adegan antara Minke dengan ayahnya yang sangat
sentimentil: Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan
punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran.
Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di
tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan
pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang
indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu .... Sembah
pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan
diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan
menjalani kehinaan ini."Kita kalah, Ma," bisikku.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."(less)
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."(less)