Renungan
r.dani.b.wongsonegoro
Tak sendiri
Sribu kata menhujat
Meludah menyerampah sumpah
Seperti mengunyah menggigit menelan bangkai bernanah fitnah
Menujukmu dengan mata melotot
Iblis telah bersarang di hitam hatinya,jangan menangis dinda sayangku,engkau tak sendiri Tuhan bersamamu
Tuhan besarkan jiwamu
Tuhan sembuhkan luka di hatimu
Jika engkau sendiri
Tundukkan kepala
Sujudlah
Dalam hening bersunyi diri
Menangislah sepuas hatimu
Rebahkanlah jiwa ragamu
Tuhan tahu hidup ini sangaf susah
Tidurlah dala. DekalaNYA
Damailah sayang dalam PelukkanNYA
Sosonglah hari esok
Dengan semangat yang nembara
Renungkanlah
Jakarta.16.02.2016
Korrie Layun Rampan
Korrie Layun Rampan lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. Semasa muda, Korrie lama tinggal di Yogyakarta untuk berkuliah. Sambil kuliah, ia aktif dalam kegiatan sastra. Ia bergabung dengan Persada Studi Klub yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Di dalam grup ini telah lahir sejumlah sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Iman Budhi Santosa, Naning Indratni, Sri Setya Rahayu Suhardi, Yudhistira A.N.M. Massardi, dll.
Pengalaman bekerja Korrie dimulai ketika pada 1978 ia bekerja di Jakarta sebagai wartawan dan editor buku untuk sejumlah penerbit. Kemudian, ia menjadi penyiar di RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta, mengajar, dan menjabat Direktur Keuangan merangkap Redaktur Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sentawar Pos yang terbit di Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Di samping itu, ia juga mengajar di Universitas Sendawar, Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Dalam Pemilu 2004 ia sempat duduk sebagai anggota Panwaslu Kabupaten Kutai Barat, tetapi kemudian mengundurkan diri karena mengikuti pencalegan. Oleh konstituen, ia dipercayakan mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009. Di legislatif itu Korrie menjabat sebagai Ketua Komisi I.
Sebagai sastrawan, Korrie dikenal sebagai sastrawan yang kreatif. Berbagai karya telah ditulisnya, seperti novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan esai. Ia juga menerjemahkan sekitar seratus judul buku cerita anak dan puluhan judul cerita pendek dari para cerpenis dunia.
Novelnya, anatara lain, Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997). Selain itu, sejumlah bukunya dijadikan bacaan utama dan referensi di sekolah dan perguruan tinggi. (less)
Pengalaman bekerja Korrie dimulai ketika pada 1978 ia bekerja di Jakarta sebagai wartawan dan editor buku untuk sejumlah penerbit. Kemudian, ia menjadi penyiar di RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta, mengajar, dan menjabat Direktur Keuangan merangkap Redaktur Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sentawar Pos yang terbit di Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Di samping itu, ia juga mengajar di Universitas Sendawar, Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Dalam Pemilu 2004 ia sempat duduk sebagai anggota Panwaslu Kabupaten Kutai Barat, tetapi kemudian mengundurkan diri karena mengikuti pencalegan. Oleh konstituen, ia dipercayakan mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009. Di legislatif itu Korrie menjabat sebagai Ketua Komisi I.
Sebagai sastrawan, Korrie dikenal sebagai sastrawan yang kreatif. Berbagai karya telah ditulisnya, seperti novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan esai. Ia juga menerjemahkan sekitar seratus judul buku cerita anak dan puluhan judul cerita pendek dari para cerpenis dunia.
Novelnya, anatara lain, Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997). Selain itu, sejumlah bukunya dijadikan bacaan utama dan referensi di sekolah dan perguruan tinggi. (less)
Sejarah perjalanan Sastra Indonesia,
Sejarah perjalanan Sastra Indonesia, hampir sama panjangnya dengan sejarah Indonesia sebagai sebuah negara. Menelaah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya merupakan salah satu tugas sastra.
Puisi, sebagai bagian dari sastra, telah mengalami perubahan bentuk sesuai dengan periodesasi yang dijalaninya. Buku ini berisi kumpulan sajak-sajak puncak yang dihasilkan oleh delapan puluh penyair modern selama lebih kurang delapan puluh tahun perjalanan Sastra Indonesia (1908-2011).
Dirangkum oleh Korrie Layun Rampan yang kompetensinya dalam dunia sastra tak diragukan lagi, buku ini sangat penting untuk dibaca oleh para mahasiswa dan akademisi pecinta sastra. Tidak hanya untuk memahami perkembangan sastra semata, melainkan juga untuk memahami perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya.
***
Korrie Layun Rampan telah menulis sekitar 300 judul buku sastra, meliputi novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, esai, dan kritik sastra. Telah meraih berbagai penghargaan, di antaranya pada 2006 memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas dedikasi, kreativitas, prestasi, inovasi, kontinuitas dan kesetiaannya dalam bidang sastra selama lebih dari tiga puluh tahun. (less)
Paperback, 190 pages
Published September 2014 by Narasi
Puisi, sebagai bagian dari sastra, telah mengalami perubahan bentuk sesuai dengan periodesasi yang dijalaninya. Buku ini berisi kumpulan sajak-sajak puncak yang dihasilkan oleh delapan puluh penyair modern selama lebih kurang delapan puluh tahun perjalanan Sastra Indonesia (1908-2011).
Dirangkum oleh Korrie Layun Rampan yang kompetensinya dalam dunia sastra tak diragukan lagi, buku ini sangat penting untuk dibaca oleh para mahasiswa dan akademisi pecinta sastra. Tidak hanya untuk memahami perkembangan sastra semata, melainkan juga untuk memahami perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya.
***
Korrie Layun Rampan telah menulis sekitar 300 judul buku sastra, meliputi novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, esai, dan kritik sastra. Telah meraih berbagai penghargaan, di antaranya pada 2006 memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas dedikasi, kreativitas, prestasi, inovasi, kontinuitas dan kesetiaannya dalam bidang sastra selama lebih dari tiga puluh tahun. (less)
Paperback, 190 pages
Published September 2014 by Narasi
NYOLONG LUKISAN PRESIDEN Rg Bagus Warsono
NYOLONG LUKISAN PRESIDEN
Rg Bagus Warsono
Dullah, Basuki, Raden Saleh, Sujojono, dan Henkngatung
dipigura jati ukir Jepara
kawan presiden sesama pelukis negeri
dengan kavas tenda serdadu
melukis wajah perempuan
melukis payudara
gairah birahi kuda pejantan
memandang lama tak berkedip
dicengkeram tembok bata-malang
kapan kompi pasukan pengawal pesta
lengah oleh ciu , tayub, dan cerutu
nyolong lukisan presiden
Musik tetalu mengalun , tembang dandang gula lalu sinom
mabuk prajurit
lupa memeluk bedil
pigura lepas dinding istana
hanya nempel paku beton karatan
lukisan hilang digondol maling
sinden montok lunglai
susu ngalor ngidul
tembang ngawur semakin asyik
dini hari
maling melompat pagar
moncong bedil bingung siapa ditembak
umpat gamprat komandan jaga
lepas lencana istana!
Presiden tersenyum lalu tertawa
Kalian pengawal plagiat seperti seperti lukisan plagiat
siap !
lalu tercium asap kanvas dibakar.
Jakarta, 9 Desember 2015
Rg Bagus Warsono
Dullah, Basuki, Raden Saleh, Sujojono, dan Henkngatung
dipigura jati ukir Jepara
kawan presiden sesama pelukis negeri
dengan kavas tenda serdadu
melukis wajah perempuan
melukis payudara
gairah birahi kuda pejantan
memandang lama tak berkedip
dicengkeram tembok bata-malang
kapan kompi pasukan pengawal pesta
lengah oleh ciu , tayub, dan cerutu
nyolong lukisan presiden
Musik tetalu mengalun , tembang dandang gula lalu sinom
mabuk prajurit
lupa memeluk bedil
pigura lepas dinding istana
hanya nempel paku beton karatan
lukisan hilang digondol maling
sinden montok lunglai
susu ngalor ngidul
tembang ngawur semakin asyik
dini hari
maling melompat pagar
moncong bedil bingung siapa ditembak
umpat gamprat komandan jaga
lepas lencana istana!
Presiden tersenyum lalu tertawa
Kalian pengawal plagiat seperti seperti lukisan plagiat
siap !
lalu tercium asap kanvas dibakar.
Jakarta, 9 Desember 2015
Yanuar Masardi Kritik Hukum di Indonesia Lewat Puisi POTONG JARI MANISKU SAJA karya Rg. Bagus Warsono
Yanuar Masardi
Kritik Hukum di Indonesia Lewat Puisi POTONG JARI MANISKU SAJA karya Rg. Bagus Warsono
Hukum di Indonesia begitulah, ibarat sebuah gelanggang perang , siapa yang cerdik, siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, dan siapa yang menjabat dialah yang berperan. Potret hukum di negeri ini perlu kritik agar menjadi semakin baik. Reformasi di bidang hukum seperti lambat bahkan tak ada perubahan. Ujung-ujungnya semua tergantung bagaimana niat aparat hukum di Indonesia mau memperbaikinya. Kritik yang dilakukan oleh penyair yang akhir-akhir ini populair kaena sentuhannya yang penuh makna dan mampu merebut hati pembaca di Tanah Air. Puisi yang dibukukan dalam Antologi Mas Karebet karya Rg Bagus Warsono ini sungguh sangat apik untuk dikaji kita semua.
POTONG JARI MANISKU SAJA
karya Rg. Bagus Warsono
Potong Jari Manisku Saja
Boleh di dua tanganku
dan sayur sup beraroma khas nusantara
kupersembahkan untuk tuan mulia
dengan pernyataan bermaterai sejuta
karna yang enamribu masih bisa ditipu
dan aku hadirkan seratus saksi biksu
karna saksi berni kalau seratusjuta
Tuan tak ada algojo muntilasi
tembak mati berarti menunggu
hukum mati berarti menunggu taubat
dikurung berari bersembunyi
banding berari menambah rezeki
boleh di dua tanganku
dengan mangkuk kuah kaldu
Potong jari manisku saja
tanpa publikasi
karena semua yakin untuk tulang sup negeri
dan ada cctv sebagai saksi tadi malam
yang tiada gambar karena petang
gelap warna meski baterai baru
yang terlihat hanya darah
menghitam menutupi semua layar
menimbulkan keyakinan hakim
tak pengaruh bila tiada jari manis
kalian bebas tanpa syarat..............................
Potong jari manisku saja katanya.
Indramayu, 23 Oktober 2013
Penyair kelahiran tegal ini mengibaratkan kasus hukum adalah sayur sop nusantara yang penuh kaldu sehingga penuh aroma. Baik yang memberikan gambaran makna luas hukum diIndonesia. Kepura-puraan kadang datang pada para penegak hukum , ia gambarkan dengan judulnya yang mewakili isi puisi ini.
Kritik Hukum di Indonesia Lewat Puisi POTONG JARI MANISKU SAJA karya Rg. Bagus Warsono
Hukum di Indonesia begitulah, ibarat sebuah gelanggang perang , siapa yang cerdik, siapa yang kuat, siapa yang berkuasa, dan siapa yang menjabat dialah yang berperan. Potret hukum di negeri ini perlu kritik agar menjadi semakin baik. Reformasi di bidang hukum seperti lambat bahkan tak ada perubahan. Ujung-ujungnya semua tergantung bagaimana niat aparat hukum di Indonesia mau memperbaikinya. Kritik yang dilakukan oleh penyair yang akhir-akhir ini populair kaena sentuhannya yang penuh makna dan mampu merebut hati pembaca di Tanah Air. Puisi yang dibukukan dalam Antologi Mas Karebet karya Rg Bagus Warsono ini sungguh sangat apik untuk dikaji kita semua.
POTONG JARI MANISKU SAJA
karya Rg. Bagus Warsono
Potong Jari Manisku Saja
Boleh di dua tanganku
dan sayur sup beraroma khas nusantara
kupersembahkan untuk tuan mulia
dengan pernyataan bermaterai sejuta
karna yang enamribu masih bisa ditipu
dan aku hadirkan seratus saksi biksu
karna saksi berni kalau seratusjuta
Tuan tak ada algojo muntilasi
tembak mati berarti menunggu
hukum mati berarti menunggu taubat
dikurung berari bersembunyi
banding berari menambah rezeki
boleh di dua tanganku
dengan mangkuk kuah kaldu
Potong jari manisku saja
tanpa publikasi
karena semua yakin untuk tulang sup negeri
dan ada cctv sebagai saksi tadi malam
yang tiada gambar karena petang
gelap warna meski baterai baru
yang terlihat hanya darah
menghitam menutupi semua layar
menimbulkan keyakinan hakim
tak pengaruh bila tiada jari manis
kalian bebas tanpa syarat..............................
Potong jari manisku saja katanya.
Indramayu, 23 Oktober 2013
Penyair kelahiran tegal ini mengibaratkan kasus hukum adalah sayur sop nusantara yang penuh kaldu sehingga penuh aroma. Baik yang memberikan gambaran makna luas hukum diIndonesia. Kepura-puraan kadang datang pada para penegak hukum , ia gambarkan dengan judulnya yang mewakili isi puisi ini.
Ia menulis rasa , cinta, kecintaan, keturunan, kekaguman dan juga keagungan Allah maha Pencipta, sebuah esai Antologi AURA karya Dharmadi DP oleh : Rg Bagus Warsono
Ia menulis rasa , cinta, kecintaan, keturunan, kekaguman dan juga keagungan Allah maha Pencipta, sebuah esai Antologi AURA karya Dharmadi DP
oleh : Rg Bagus Warsono
1)
SEGAN rasanya memberi kritik/esai antologi Mas Dharmadi DP, yang berjudul AURA apalagi telah diesai-i oleh sastrawan kenamaan Sides Sudyarto Penyair DS yang berjudul Sukma dalam Bahasa Penyair Dharmadi DP. Kita berada dalam bayang raga tanpa jiwa, dalam kondisi nol sebagai mahluk. Ainun Nadjib bilang urutan manusia itu , mahluk baru manusia kemudian muslim. Untuk tidak mau dikatakan sebagai muslim sebelum menjadi mahluk manusia yang mengakui ciptaannya.
Kita berada dalam keambang sadar ketika memulai membuka puisi 'kenabian (ungkapan terlalu tinggi) jika mau mengatakannya. Sebab ditiap lembar Aura antologi itu berkisah hidup, mati, dan hakekat kehidupan ini. Betapa orang tua kita mengatakan di dunia ini hanya 'andon ngombe atau mampir sebetar hanya untuk minum. Dharmadi DP pun memulai dengan "di kuburan" : //....//ruh siapa yang nyasar dikuburan ,/ tempurungnya tersampar//...// .
Tidak tidak, tidak kita tak akan membedah Aura Anda (Dharmadi), namun lembar berikut menggoda, seperti "ingin kulukis di sela kembar payudaramu". Kataku juga apa? ia bermain asmara. Namun Ia tidak bercinta dengan "penari topeng" dan bukan pula "mencari kosong" atau tak menentu "kembali pulang merapat bayang" tetapi sungguh menyimpan Aura. Sebagai aura yang memutih, memutih dalam api diri. Demikian Dharmadi DP selintas memberikan perumpamaan manusia hidup dalam jiwa rasa dunia. Ia menulis rasa , cinta, kecintaan, keturunan, kekaguman dan juga keagungan Allah maha Pencipta.
oleh : Rg Bagus Warsono
1)
SEGAN rasanya memberi kritik/esai antologi Mas Dharmadi DP, yang berjudul AURA apalagi telah diesai-i oleh sastrawan kenamaan Sides Sudyarto Penyair DS yang berjudul Sukma dalam Bahasa Penyair Dharmadi DP. Kita berada dalam bayang raga tanpa jiwa, dalam kondisi nol sebagai mahluk. Ainun Nadjib bilang urutan manusia itu , mahluk baru manusia kemudian muslim. Untuk tidak mau dikatakan sebagai muslim sebelum menjadi mahluk manusia yang mengakui ciptaannya.
Kita berada dalam keambang sadar ketika memulai membuka puisi 'kenabian (ungkapan terlalu tinggi) jika mau mengatakannya. Sebab ditiap lembar Aura antologi itu berkisah hidup, mati, dan hakekat kehidupan ini. Betapa orang tua kita mengatakan di dunia ini hanya 'andon ngombe atau mampir sebetar hanya untuk minum. Dharmadi DP pun memulai dengan "di kuburan" : //....//ruh siapa yang nyasar dikuburan ,/ tempurungnya tersampar//...// .
Tidak tidak, tidak kita tak akan membedah Aura Anda (Dharmadi), namun lembar berikut menggoda, seperti "ingin kulukis di sela kembar payudaramu". Kataku juga apa? ia bermain asmara. Namun Ia tidak bercinta dengan "penari topeng" dan bukan pula "mencari kosong" atau tak menentu "kembali pulang merapat bayang" tetapi sungguh menyimpan Aura. Sebagai aura yang memutih, memutih dalam api diri. Demikian Dharmadi DP selintas memberikan perumpamaan manusia hidup dalam jiwa rasa dunia. Ia menulis rasa , cinta, kecintaan, keturunan, kekaguman dan juga keagungan Allah maha Pencipta.
PENGAKUAN SASTRAWAN BUKAN MENCETAK ANTOLOGI PUISI catatan kecil : Agus Warsono
PENGAKUAN SASTRAWAN BUKAN MENCETAK ANTOLOGI PUISI
catatan kecil : Agus Warsono
DOELOE bukan main senangnya ketika karya sastraku dimuat di salah satu media cetak regional , kala itu di Indramayu tak ada media cetak yang ada di Cirebon dan Bandung. Kira-kira tahun 80-an. Seakan kebanggaan besar, bagi pemula seperti saya kala itu yang masih duduk di bangku sekolah guru. Kebanggaan pengakuan dari seorang pengasuh kolom sastra sebuah media kepada seorang sastrawan pemula. Apalagi disekolahku dulu koran mingguan regional itu (PR Edis Cirebon/redaktur budayanya Nurdin M Noor kalau tidak salah ) itu dipasang di majalah dinding sekolah.
Kejadian semacam itu mungkin dialami oleh sastrawan lain meski bobot dan publikasinya lebih luas. Hal demikian biasa media cetak tersebut membedakan karya dengan jumlah honorarium yang diberikan. Terlepas dari itu semua pendek kata untuk bisa dimuat di media massa memerlukan karya yang baik disamping seleksi ketat redaktur mengingat banyaknya karya yang datang di meja redaktur budaya.
Lain doeloe lain sekarang kini tak ada lagi penilaian atau pengantar/catatan redaksi/komentar/esai pendek seorang redaktur budaya mengantarkan karya puisi/cerpen penyair/sastrawan bila pun ada hanya dimedia cetak nasional yang bersar seperti PR, Republika, Kompas, saja. Bila penulis pemula mengirimkan karya ke media ini dijamin berkemungkinan seribu satu.
Demikian sastrawan dibentuk dari kesungguhan cita rasa terhadap satra dengan talenta tersendiri. Lambat laun datang juga pengakuan orang lain atas karya itu secara bertahan dan mungkin perlahan. Talenta yang diasah akan menghasilkan karya yang bagus. Pada gilirannya pengakuan menimbulkan minat orang lain untuk mempublikasikan atau mendokumentasikan seperti memuat dalam koran majalah atau menerbitkannya dalam buku dan alat dokumentasi lainnya.
Perkembangan sastra menunjukan kegembiraan dengan semakin banyaknya karya sastra muncul baik media cetak maupun elektronik. Karya sastra demikian banyak sehingga bukan tidak mungkin akan tumbuh persaingan yang tidak sehat dalam mempublikasikannya.
Kepiawaian mempublikasikan karya sastra menjadikan sastrawan cepat populair, sebaliknya karya bagus tak pandai mempublikasikan menjadikan teman arsip lapuk yang disimpan di rak butut pula. Namun yang lapuk itu kelak menjadi barang langka yang akan dicari kemudian.
Sastrawan instan akhirnya muncul bak jamur dimusim hujan, hanya dengan uang kurang dari 2 jt anda akan memeperoleh buku karya anda itu dicetak penerbit lengkap dengan ISBN dan Hak Cipta. Apakah sastrawan ini termasuk sastrawan, jawabnya bisa mungkin. Namun ia akan diadili publik apakah karyanya itu layak atau tidak dinikmati sebagai karya sastra. Meski peluncuran buku sastrawan instan ini dibuat meriah, dengan kata pengantar penyair kondang yang tentu saja dibayar mahal belum menjamin karya itu diakui sebagai karya yang bagus, juga penyairnya belum tentu cepat dinobatkan sebagai penyair, sebab sebab penyair atau sastrawan bukan pengakuan diri tetapi orang lainlah yang memberinya. Jadi tidak asal cetak antologi kemudian disebut sastrawan. (masagus/agus warsono/rg bagus warsono)
catatan kecil : Agus Warsono
DOELOE bukan main senangnya ketika karya sastraku dimuat di salah satu media cetak regional , kala itu di Indramayu tak ada media cetak yang ada di Cirebon dan Bandung. Kira-kira tahun 80-an. Seakan kebanggaan besar, bagi pemula seperti saya kala itu yang masih duduk di bangku sekolah guru. Kebanggaan pengakuan dari seorang pengasuh kolom sastra sebuah media kepada seorang sastrawan pemula. Apalagi disekolahku dulu koran mingguan regional itu (PR Edis Cirebon/redaktur budayanya Nurdin M Noor kalau tidak salah ) itu dipasang di majalah dinding sekolah.
Kejadian semacam itu mungkin dialami oleh sastrawan lain meski bobot dan publikasinya lebih luas. Hal demikian biasa media cetak tersebut membedakan karya dengan jumlah honorarium yang diberikan. Terlepas dari itu semua pendek kata untuk bisa dimuat di media massa memerlukan karya yang baik disamping seleksi ketat redaktur mengingat banyaknya karya yang datang di meja redaktur budaya.
Lain doeloe lain sekarang kini tak ada lagi penilaian atau pengantar/catatan redaksi/komentar/esai pendek seorang redaktur budaya mengantarkan karya puisi/cerpen penyair/sastrawan bila pun ada hanya dimedia cetak nasional yang bersar seperti PR, Republika, Kompas, saja. Bila penulis pemula mengirimkan karya ke media ini dijamin berkemungkinan seribu satu.
Demikian sastrawan dibentuk dari kesungguhan cita rasa terhadap satra dengan talenta tersendiri. Lambat laun datang juga pengakuan orang lain atas karya itu secara bertahan dan mungkin perlahan. Talenta yang diasah akan menghasilkan karya yang bagus. Pada gilirannya pengakuan menimbulkan minat orang lain untuk mempublikasikan atau mendokumentasikan seperti memuat dalam koran majalah atau menerbitkannya dalam buku dan alat dokumentasi lainnya.
Perkembangan sastra menunjukan kegembiraan dengan semakin banyaknya karya sastra muncul baik media cetak maupun elektronik. Karya sastra demikian banyak sehingga bukan tidak mungkin akan tumbuh persaingan yang tidak sehat dalam mempublikasikannya.
Kepiawaian mempublikasikan karya sastra menjadikan sastrawan cepat populair, sebaliknya karya bagus tak pandai mempublikasikan menjadikan teman arsip lapuk yang disimpan di rak butut pula. Namun yang lapuk itu kelak menjadi barang langka yang akan dicari kemudian.
Sastrawan instan akhirnya muncul bak jamur dimusim hujan, hanya dengan uang kurang dari 2 jt anda akan memeperoleh buku karya anda itu dicetak penerbit lengkap dengan ISBN dan Hak Cipta. Apakah sastrawan ini termasuk sastrawan, jawabnya bisa mungkin. Namun ia akan diadili publik apakah karyanya itu layak atau tidak dinikmati sebagai karya sastra. Meski peluncuran buku sastrawan instan ini dibuat meriah, dengan kata pengantar penyair kondang yang tentu saja dibayar mahal belum menjamin karya itu diakui sebagai karya yang bagus, juga penyairnya belum tentu cepat dinobatkan sebagai penyair, sebab sebab penyair atau sastrawan bukan pengakuan diri tetapi orang lainlah yang memberinya. Jadi tidak asal cetak antologi kemudian disebut sastrawan. (masagus/agus warsono/rg bagus warsono)
Puisi tak pernah kemarau. Rg Bagus Warsono
Puisi tak pernah kemarau.
Temanku di Semarang Wardjito Soeharso, penyair, berusaha terus menghidupi puisi , begitu juga penyair Heru Mugiarso, ia telah memberi gagasan (PMK) seakan menyebar benih puisi. Lain lagi dalam sebuah kesempatan penyair Syarifuddin Arifin Dua senantiasa mengajak yang muda-muda utuk terus memelihara budaya menulis puisi. Sedang penyair intelektual Bambang Widiatmoko ada saja slalu gagasannya setiap tahunnya. Begitu pula Mas Bambang Eka Prasetya begitu rajinnya ia membimbing dan menjalin persahabatan terhadap para pecinta puisi di Tanah Air. Sedangkan Sosiawan Leak terus berkiprah tak henti menginventaris puisi hingga 'PMK V sekarang. Di tempat lainnya di seberang pulau penyair Arsyad Indradi dan Ibramsyah Amandit adalah adalah orang tua yang patut mendapat tauladan karena kepeduliannya membina penyair muda. Sahabatku Wayan Jengki Sunarta, di Bali tak henti berkreatif. Teman-teman di Tangerang barusan selenggarakan silaturahmi penyair nusantara yang dimotori perempuan penyair Rini Intama, dan penyair Trip Umiuki. Nun jauh di sana di kupang penyair Dedari Rsia tengah rajin menghidupkan puisi dalam kemasan tersendiri. Banyak juga penyair yang membikin hujan puisi seperti pemyair Kurniawan Junaedhie. Di Serang Toto S Toto St Radik mungkin tengah akan membuat kejutan berikutnya. Sahabatku Ali Arsy adalah penyair produktif. Sedang sukses Mas Sofyan RH Zaid membuat semangat penyair lainnya. Tentu saja masih banyak penjaga puisi lain, Acep Syahril kini punya koran sendiri agar dapat menampung hujan puisi. Wah pendek kata puisi tak pernah kemarau. Salam sastra Indonesia.
Temanku di Semarang Wardjito Soeharso, penyair, berusaha terus menghidupi puisi , begitu juga penyair Heru Mugiarso, ia telah memberi gagasan (PMK) seakan menyebar benih puisi. Lain lagi dalam sebuah kesempatan penyair Syarifuddin Arifin Dua senantiasa mengajak yang muda-muda utuk terus memelihara budaya menulis puisi. Sedang penyair intelektual Bambang Widiatmoko ada saja slalu gagasannya setiap tahunnya. Begitu pula Mas Bambang Eka Prasetya begitu rajinnya ia membimbing dan menjalin persahabatan terhadap para pecinta puisi di Tanah Air. Sedangkan Sosiawan Leak terus berkiprah tak henti menginventaris puisi hingga 'PMK V sekarang. Di tempat lainnya di seberang pulau penyair Arsyad Indradi dan Ibramsyah Amandit adalah adalah orang tua yang patut mendapat tauladan karena kepeduliannya membina penyair muda. Sahabatku Wayan Jengki Sunarta, di Bali tak henti berkreatif. Teman-teman di Tangerang barusan selenggarakan silaturahmi penyair nusantara yang dimotori perempuan penyair Rini Intama, dan penyair Trip Umiuki. Nun jauh di sana di kupang penyair Dedari Rsia tengah rajin menghidupkan puisi dalam kemasan tersendiri. Banyak juga penyair yang membikin hujan puisi seperti pemyair Kurniawan Junaedhie. Di Serang Toto S Toto St Radik mungkin tengah akan membuat kejutan berikutnya. Sahabatku Ali Arsy adalah penyair produktif. Sedang sukses Mas Sofyan RH Zaid membuat semangat penyair lainnya. Tentu saja masih banyak penjaga puisi lain, Acep Syahril kini punya koran sendiri agar dapat menampung hujan puisi. Wah pendek kata puisi tak pernah kemarau. Salam sastra Indonesia.
Iksaka Banu
Iksaka Banu lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Menamatkan kuliah di Jurusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Bekerja di bidang periklanan di Jakarta hingga tahun 2006, kemudian memutuskan
menjadi praktisi iklan yang bekerja lepas.
Semasa kanak-kanak (1974–1976), ia beberapa kali mengirim tulisan ke rubrik Anak Harian Angkatan Bersenjata. Karyanya pernah pula dimuat di rubrik Anak Kompas dan majalah Kawanku. Namun, kegiatan menulis terhenti karena tertarik untuk mencoba melukis komik. Lewat kegiatan melukis komik ini, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia memperoleh kesempatan membuat cerita bergambar berjudul “Samba si Kelinci Perkasa” di majalah Ananda selama 1978.
Setelah dewasa, kesibukan sebagai seorang pengarah seni di beberapa biro iklan benar-benar membuatnya seolah lupa dunia tulis-menulis. Pada tahun 2000, dalam jeda cuti panjang, ia mencoba menulis cerita pendek dan ternyata dimuat di majalah Matra. Sejak itu ia kembali giat menulis. Sejumlah karyanya dimuat di majalah Femina, Horison, dan Koran Tempo. Dua buah cerpennya, “Mawar di Kanal Macan” dan “Semua untuk Hindia” berturut-turut terpilih menjadi salah satu dari 20
cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 2008 dan 2009.
menjadi praktisi iklan yang bekerja lepas.
Semasa kanak-kanak (1974–1976), ia beberapa kali mengirim tulisan ke rubrik Anak Harian Angkatan Bersenjata. Karyanya pernah pula dimuat di rubrik Anak Kompas dan majalah Kawanku. Namun, kegiatan menulis terhenti karena tertarik untuk mencoba melukis komik. Lewat kegiatan melukis komik ini, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia memperoleh kesempatan membuat cerita bergambar berjudul “Samba si Kelinci Perkasa” di majalah Ananda selama 1978.
Setelah dewasa, kesibukan sebagai seorang pengarah seni di beberapa biro iklan benar-benar membuatnya seolah lupa dunia tulis-menulis. Pada tahun 2000, dalam jeda cuti panjang, ia mencoba menulis cerita pendek dan ternyata dimuat di majalah Matra. Sejak itu ia kembali giat menulis. Sejumlah karyanya dimuat di majalah Femina, Horison, dan Koran Tempo. Dua buah cerpennya, “Mawar di Kanal Macan” dan “Semua untuk Hindia” berturut-turut terpilih menjadi salah satu dari 20
cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 2008 dan 2009.
Pembaca itu Nomor Satu Oleh Rg Bagus Warsono
Pembaca itu Nomor Satu
Oleh Rg Bagus Warsono
1. Karya tulis itu sebaiknya dibaca
Salah satu pengakuan bahwa Anda seorang penyair adalah karya Anda itu dibaca orang lain. Semakin banyak pembaca karya Anda maka semakin banyak orang tahu penulisnya, Semakin banyak lagi karya Anda dibaca orang lain maka tubuh pengakuan publik. Kemudian semakin bayak lagi oang membaca maka semakin yakin Anda seorang penyair dengan karya yang nyata. Karena itu peran pembaca karya syair yang Anda tulis sangat penting bagi seseorang yang terjun ke dunia kepenyairan. Hal membaca tentu terdapat berbagai tingkatannya hinga membaca apresiatif dengan kemudian si pembaca melakukan aktifitas setelah membaca tulisan tadi. Tulisan Anda kelak setelah dibaca akan memunculkan resensi, kritik, esai, ulasan, tinjauan, atau tulisan itu menjadi rujukan referensi yang mengkokohkan kepenyairan itu. Lambat laun publik akan menilai sebuah karya dan penulisnya apakah layak atau tidak disebut sebuah karya seni dan penulisnya disebut seorang oenyair. Oleh karena itu untuk memberikan respon baik bagi pembaca sebaiknya penyair membuat tulisan yang membuat gairah pembaca untuk dibaca. Ini jelas berarti sebuat tulisan harus menarik bagi sasaran (pembaca) yang dikehendakinya.
2. Karya yang tepat sasaran pembaca
Sebuah karya tulis apa pun jenisnya harus memiliki sasaran pembaca atau dalam kata lain siapa pembacanya. Akan lebih spesifik bila kita mulai fokus pada jenis sastra yang kita sukai. Misalnya puisi. Penulis pernah membuat puisi untuk sasaran anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) . Ternyata tidak gampang membuat puisi untuk konsumen anak TK. Bahasanya harus disesuaikan dengan perbendaharaan kata yang dimiliki anak usia TK, kemudian penggunaan pilihan kata huruf yang juga mudah dipahami, bentuk dan besar besar kecil huruf, karakter isi, serta tema-tema yang disukai anak TK.
Jadi, mengarang itu tidak semudah yang dibayangkan. Karenanya sangatlah tidak bijak andai seorang senior menilai puisi si 'A jelek atau puisi si 'B bagus. Kita harus bijak dan mampu mengapresiasi dari berbagai sudut dan batasan yang hendak kita nilai itu. Sungguhpun terdapat tata kata yang kurang atau pilihan kata yang tidak tepat atau pilihan kata yang kurang bernas atau yang tidak mengandung unsur bahasa puitis kita dapat memakluminya sebagai bentuk diri seorang penulis mulai berproses.
3. Respon pembaca
Karya sastra adalah juga pesan. Sesuatu pesan yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Sebagaimana pesan dalam arti harfiah memiliki harapan respon dari pesan itu. Respon dalam karya sastra adalah apresiasi. Sejauhmana pembaca mengapresiasi karya kita adalah sejauh mana kekuatan tulisan itu dapat memberikan respon. Pada tahun awal 2014 tim 8 (Jamal D Rachman dkk) bersama pusat Dokumentasi HB Jassin meluncurkan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Berpengaruh, dalam hitungan jam buku itu mendapat respon pro dan kontra dari masyarakat. Ini artinya buku itu memiliki kekuatan 'pesan yang luar biasa sehingga respon begitu banyak. Terlepas dari isi bukunya, judulnya saja sudah menggugah orang untuk memberikan respon balik. Ini menandakan penulis berhasil memberikan pesan pada masyarakat. Jika demikian tulisan kita harus pandai untuk menarik minat orang lain memberikan respon apresiasi dari karya itu. Tentu saja ini berkaitan dengan hal-hal apa yang disukai masyarakat, yang lagi ngetrend di masyarakat atau yang lagi dirindukan masyarakat dll.
4. Respon diri pembaca istimewa
:"Gila!', "Hebat ! ", Wah!', "Busyeeet !", sampai mengumpat " Asu koe !" sambil menyebut nama penyairnya setelah membaca karya puisi dari seorang penyair. Inilah yang disebut respon istimewa. Bahkan ada yang sambil membanting buku antologi itu. Bila sampai pada tahapan ini penyair demikian telah dapat memberikan respon istimewa pada pembacanya meskipun hanya satu buah puisi. Artinya penyair demikian telah mampu membuahkan karya yang penuh apresiatif dan tentu saja karya yang sangat bagus.
5. Pembaca setia (fand pembaca)
Minat membaca berhubungan erat dengan tokoh penulis. Pembaca novel misalnya, nama penulis menjadi fand pembaca. Jika ini menjadi kegemaran, maka bukan tidak mungkin nama penulisnya menjadi erat dengan minat baca pembaca. Orang akan lebih memilih penulis yang disukainya ketimbang penulis nofel lain yang belum pernah dikenalnya. Begitu juga puisi, puisi-puisi tokoh sastrawan terkenal seperi Rendra, misalnya, akan lebih dahulu 'dilirik ketimbang penyair lain walau dipajang dietalase yang sama. Oleh karena itu daya tarik itu perlu digali dari berbahai penampilan buku agar penyair mendapat cepat apresiasi pembaca. Disamping judul yang menarik juga penampilan cover buku yang menarik pula.
Pentingnya untuk mendapatkan pembaca setia ini sampai-sampai penyair melakukan cara agar karyanya segera dibaca, mesalnya peluncuran buku, bedah buku, lomba baca puisi, lomba resensi, atau aktifitas lain dalam rangka merebut pembaca. Pembaca setia adalah kekayaan penyair tersendiri, karena itu pembaca setia perlu dipupuk agar berkembang dan memberikan apresiasi tinggi. Penyair layaknya juga artis (seniman) jika memiliki fand pembaca maka dengan sendirinya cepat terkenal dan sukses.
*penulis pengasuh sanggar sastra dan lukis Meronte Jaring, Indramayu
Oleh Rg Bagus Warsono
1. Karya tulis itu sebaiknya dibaca
Salah satu pengakuan bahwa Anda seorang penyair adalah karya Anda itu dibaca orang lain. Semakin banyak pembaca karya Anda maka semakin banyak orang tahu penulisnya, Semakin banyak lagi karya Anda dibaca orang lain maka tubuh pengakuan publik. Kemudian semakin bayak lagi oang membaca maka semakin yakin Anda seorang penyair dengan karya yang nyata. Karena itu peran pembaca karya syair yang Anda tulis sangat penting bagi seseorang yang terjun ke dunia kepenyairan. Hal membaca tentu terdapat berbagai tingkatannya hinga membaca apresiatif dengan kemudian si pembaca melakukan aktifitas setelah membaca tulisan tadi. Tulisan Anda kelak setelah dibaca akan memunculkan resensi, kritik, esai, ulasan, tinjauan, atau tulisan itu menjadi rujukan referensi yang mengkokohkan kepenyairan itu. Lambat laun publik akan menilai sebuah karya dan penulisnya apakah layak atau tidak disebut sebuah karya seni dan penulisnya disebut seorang oenyair. Oleh karena itu untuk memberikan respon baik bagi pembaca sebaiknya penyair membuat tulisan yang membuat gairah pembaca untuk dibaca. Ini jelas berarti sebuat tulisan harus menarik bagi sasaran (pembaca) yang dikehendakinya.
2. Karya yang tepat sasaran pembaca
Sebuah karya tulis apa pun jenisnya harus memiliki sasaran pembaca atau dalam kata lain siapa pembacanya. Akan lebih spesifik bila kita mulai fokus pada jenis sastra yang kita sukai. Misalnya puisi. Penulis pernah membuat puisi untuk sasaran anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) . Ternyata tidak gampang membuat puisi untuk konsumen anak TK. Bahasanya harus disesuaikan dengan perbendaharaan kata yang dimiliki anak usia TK, kemudian penggunaan pilihan kata huruf yang juga mudah dipahami, bentuk dan besar besar kecil huruf, karakter isi, serta tema-tema yang disukai anak TK.
Jadi, mengarang itu tidak semudah yang dibayangkan. Karenanya sangatlah tidak bijak andai seorang senior menilai puisi si 'A jelek atau puisi si 'B bagus. Kita harus bijak dan mampu mengapresiasi dari berbagai sudut dan batasan yang hendak kita nilai itu. Sungguhpun terdapat tata kata yang kurang atau pilihan kata yang tidak tepat atau pilihan kata yang kurang bernas atau yang tidak mengandung unsur bahasa puitis kita dapat memakluminya sebagai bentuk diri seorang penulis mulai berproses.
3. Respon pembaca
Karya sastra adalah juga pesan. Sesuatu pesan yang hendak disampaikan oleh penulisnya. Sebagaimana pesan dalam arti harfiah memiliki harapan respon dari pesan itu. Respon dalam karya sastra adalah apresiasi. Sejauhmana pembaca mengapresiasi karya kita adalah sejauh mana kekuatan tulisan itu dapat memberikan respon. Pada tahun awal 2014 tim 8 (Jamal D Rachman dkk) bersama pusat Dokumentasi HB Jassin meluncurkan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Berpengaruh, dalam hitungan jam buku itu mendapat respon pro dan kontra dari masyarakat. Ini artinya buku itu memiliki kekuatan 'pesan yang luar biasa sehingga respon begitu banyak. Terlepas dari isi bukunya, judulnya saja sudah menggugah orang untuk memberikan respon balik. Ini menandakan penulis berhasil memberikan pesan pada masyarakat. Jika demikian tulisan kita harus pandai untuk menarik minat orang lain memberikan respon apresiasi dari karya itu. Tentu saja ini berkaitan dengan hal-hal apa yang disukai masyarakat, yang lagi ngetrend di masyarakat atau yang lagi dirindukan masyarakat dll.
4. Respon diri pembaca istimewa
:"Gila!', "Hebat ! ", Wah!', "Busyeeet !", sampai mengumpat " Asu koe !" sambil menyebut nama penyairnya setelah membaca karya puisi dari seorang penyair. Inilah yang disebut respon istimewa. Bahkan ada yang sambil membanting buku antologi itu. Bila sampai pada tahapan ini penyair demikian telah dapat memberikan respon istimewa pada pembacanya meskipun hanya satu buah puisi. Artinya penyair demikian telah mampu membuahkan karya yang penuh apresiatif dan tentu saja karya yang sangat bagus.
5. Pembaca setia (fand pembaca)
Minat membaca berhubungan erat dengan tokoh penulis. Pembaca novel misalnya, nama penulis menjadi fand pembaca. Jika ini menjadi kegemaran, maka bukan tidak mungkin nama penulisnya menjadi erat dengan minat baca pembaca. Orang akan lebih memilih penulis yang disukainya ketimbang penulis nofel lain yang belum pernah dikenalnya. Begitu juga puisi, puisi-puisi tokoh sastrawan terkenal seperi Rendra, misalnya, akan lebih dahulu 'dilirik ketimbang penyair lain walau dipajang dietalase yang sama. Oleh karena itu daya tarik itu perlu digali dari berbahai penampilan buku agar penyair mendapat cepat apresiasi pembaca. Disamping judul yang menarik juga penampilan cover buku yang menarik pula.
Pentingnya untuk mendapatkan pembaca setia ini sampai-sampai penyair melakukan cara agar karyanya segera dibaca, mesalnya peluncuran buku, bedah buku, lomba baca puisi, lomba resensi, atau aktifitas lain dalam rangka merebut pembaca. Pembaca setia adalah kekayaan penyair tersendiri, karena itu pembaca setia perlu dipupuk agar berkembang dan memberikan apresiasi tinggi. Penyair layaknya juga artis (seniman) jika memiliki fand pembaca maka dengan sendirinya cepat terkenal dan sukses.
*penulis pengasuh sanggar sastra dan lukis Meronte Jaring, Indramayu
PUISI DAN POLITIK, Handrawan Nadesul
PUISI DAN POLITIK
TERASA ada yang berbunyi dalam pidato pengukuhan Guru Besar Alois Agus Nugroho. Bahwa kekuasaan dan kepemimpinan membutuhkan aspek puitis (Kompas, 4/06/04). Bunyi itu relevan dan menggelitik batin kita yang lagi bingung mencari pemimpin bangsa yang eligible.
Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran bahwa tanpa sentuhan “puisi” betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi “puisi-puisi” kehidupan. “Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari bahwa kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis.”
Pidato itu ditutup dengan pesan, “Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tidak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi, sudah semestinya keluar dari lingkaran elite”.
Menarik. Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?
Tidak ada catatan kita pernah punya presiden yang penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun beberapa presiden Amerika tercatat menyukai puisi, dan mantan presiden Abraham Lincoln sendiri penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman.Sentuhan puitis memberinya persona antiperbudakan,dan semangat demokrasi.
Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu kalau Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan presiden Ronald Reagan semasa hidupnya dulu kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematik.
Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi lantaran dibanding orang biasa kelebihan penyair memiliki kepekaan sosial, visioner, lebih dahulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.
Pablo Neruda, penyair Chili yang beradab dalam berpolitik, dan pernah menjadi kandidat presiden Chili sebelum mendapat Hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat dan memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jackues Chirac pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, “Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend”.
BUAT kita sendiri, sastra dan kesenian nyatanya semakin terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah kita lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.
Sekolah kita tidak mewajibkan sastra menjadi bagian dari kehidupan anak didik. Barangkali di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin itu pula sebab banyak produk pejabat yang tidak peka, kurang berempati, boleh jadi sebab pendidikan kurang memberikan ruang batin untuk membangun keelokan itu. Kalau ada juga pejabat berdeklamasi dan membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.
Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois di atas, bahwa dalam berpolitik, kita memerlukan lebih banyak sentuhan “puisi” agar bangsa tidak sampai tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi itu sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.
Puisi adalah petuah, mantera, dan kehidupan itu sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat sikap hidup insani menjadi halus dan lunak, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.
Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).
Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, melainkan bisa mencegah penyakit jantung, dan gangguan pernapasan juga. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/09/02). Dengan puisi temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.
BERPUISI, bersastra, dan berkesenian, harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidemensi kita diperburuk dan diperpelik oleh timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, namun mengabaikan pembangunan “inner beauty” bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik. ***
Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran bahwa tanpa sentuhan “puisi” betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi “puisi-puisi” kehidupan. “Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari bahwa kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis.”
Pidato itu ditutup dengan pesan, “Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tidak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi, sudah semestinya keluar dari lingkaran elite”.
Menarik. Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?
Tidak ada catatan kita pernah punya presiden yang penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun beberapa presiden Amerika tercatat menyukai puisi, dan mantan presiden Abraham Lincoln sendiri penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman.Sentuhan puitis memberinya persona antiperbudakan,dan semangat demokrasi.
Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu kalau Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan presiden Ronald Reagan semasa hidupnya dulu kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematik.
Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi lantaran dibanding orang biasa kelebihan penyair memiliki kepekaan sosial, visioner, lebih dahulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.
Pablo Neruda, penyair Chili yang beradab dalam berpolitik, dan pernah menjadi kandidat presiden Chili sebelum mendapat Hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat dan memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jackues Chirac pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, “Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend”.
BUAT kita sendiri, sastra dan kesenian nyatanya semakin terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah kita lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.
Sekolah kita tidak mewajibkan sastra menjadi bagian dari kehidupan anak didik. Barangkali di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin itu pula sebab banyak produk pejabat yang tidak peka, kurang berempati, boleh jadi sebab pendidikan kurang memberikan ruang batin untuk membangun keelokan itu. Kalau ada juga pejabat berdeklamasi dan membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.
Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois di atas, bahwa dalam berpolitik, kita memerlukan lebih banyak sentuhan “puisi” agar bangsa tidak sampai tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi itu sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.
Puisi adalah petuah, mantera, dan kehidupan itu sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat sikap hidup insani menjadi halus dan lunak, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.
Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).
Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, melainkan bisa mencegah penyakit jantung, dan gangguan pernapasan juga. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/09/02). Dengan puisi temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.
BERPUISI, bersastra, dan berkesenian, harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidemensi kita diperburuk dan diperpelik oleh timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, namun mengabaikan pembangunan “inner beauty” bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik. ***
HANDRAWAN NADESUL, dokter, penulis kolom dan buku.
(Sudah dimuat di Harian Kompas 2004)
(Sudah dimuat di Harian Kompas 2004)
TANDA-TANDA REVOLUSI
TANDA-TANDA REVOLUSI
“Kalian tahu kapan saat revolusi tiba? Tak lain adalah ketika penindasan kaum penjajah terhadap rakyat sudah sampai di pangkal leher hingga kaum kromo memilih mati ketimbang hidup sebagai budak! Serupa revolusi di Mesir, India, Tiongkok, Jerman, dan Rusia, ketika unjuk rasa berlangsung tak berujung karena rakyat sudah kenyang menahan lapar! Ketika rakyat sekadar tertawa saat pentungan atau peluru polisi datang menghantam! Ketika pengusaha pribumi menolak membayar pajak dan kaum tani merebut kembali tanah-tanah mereka! Ketika serikat buruh kereta dan kapal menentang pembuangan para pemimpin rakyat! Ketika massa aksi mematahkan jeruji penjara dan para pemimpin rakyat dibebaskan! Ketika para serdadu penjajah dimamah perasaan bersalah sampai tidak berani menembak rakyat yang tak bersenjata! Ketika kulit putih tidur dengan pistol di tangan dan tak berani bersantap sebelum hidangannya diperiksa dokter! Semua itu adalah alamat semangat revolusi sudah berurat akar di dalam dada dan benak rakyat Hindia. Jika semua itu sudah berlaku, tidak ada lagi obatnya kecuali dengan kemerdekaan Hindia!”
(Tan Malaka dalam novel TAN).
---------------------------------------
Pengarang: Hendri Teja
SC | 14 x 21 cm | 427 hlm.
ISBN: 978-602-6799-06-7
Harga: Rp88.000.
---------------------------------------
Dapatkan di Gramedia Jawa dan Bali setelah tanggal 1 Maret 2016, Gramedia Sumatera setelah tanggal 10 Maret 2016, Gramedia Kalimantan, Sulawesi, dll. setelah tanggal 20 Maret 2016.
Pengarang: Hendri Teja
SC | 14 x 21 cm | 427 hlm.
ISBN: 978-602-6799-06-7
Harga: Rp88.000.
---------------------------------------
Dapatkan di Gramedia Jawa dan Bali setelah tanggal 1 Maret 2016, Gramedia Sumatera setelah tanggal 10 Maret 2016, Gramedia Kalimantan, Sulawesi, dll. setelah tanggal 20 Maret 2016.
Novel ini bisa dibeli langsung ke penerbit dengan harga khusus Rp74.000 (belum termasuk ongkos kirim) dengan mengirim pesan melalui SMS/WhatsApp: 0812-8765-4445, PIN BB: 575853B2. Sertakan nama, alamat, dan nomor kontak yang bisa dihubungi dalam pemesanan.
DALAM TABIR MALAMKU, *Bambang Priatna,
DALAM TABIR MALAMKU
Kuingin kau selalu ada memberikan senyummu
Kuingin berhangat dengan binar lembut kasihmu
Alangkah indahnya dan 'kan selalu kurindukan itu
Kuingin selalu melihatmu menangis di hadapanku
Kuingin membasahi lenganku dengan bening sayangmu
Alangkah sejuknya dan 'kan selalu kuharapkan itu
Semoga saja
Semua hanya keindahan semata
Senantiasa waktu memantik rasa kala fajar membuka
*Bambang Priatna, Jkt 23Feb2016
Kuingin kau selalu ada memberikan senyummu
Kuingin berhangat dengan binar lembut kasihmu
Alangkah indahnya dan 'kan selalu kurindukan itu
Kuingin selalu melihatmu menangis di hadapanku
Kuingin membasahi lenganku dengan bening sayangmu
Alangkah sejuknya dan 'kan selalu kuharapkan itu
Semoga saja
Semua hanya keindahan semata
Senantiasa waktu memantik rasa kala fajar membuka
*Bambang Priatna, Jkt 23Feb2016
Langganan:
Komentar (Atom)

