PUISI DAN POLITIK, Handrawan Nadesul


PUISI DAN POLITIK
TERASA ada yang berbunyi dalam pidato pengukuhan Guru Besar Alois Agus Nugroho. Bahwa kekuasaan dan kepemimpinan membutuhkan aspek puitis (Kompas, 4/06/04). Bunyi itu relevan dan menggelitik batin kita yang lagi bingung mencari pemimpin bangsa yang eligible.
Pesan pidato itu menyiratkan perlunya kesadaran bahwa tanpa sentuhan “puisi” betapa kekuasaan dan kepemimpinan cenderung keras dan kasar. Setiap pemimpin perlu ruang batin untuk diisi “puisi-puisi” kehidupan. “Kepemimpinan pascamodern perlu menyadari bahwa kekuasaan dan kepemimpinan perlu memiliki aspek puitis.”
Pidato itu ditutup dengan pesan, “Para pemegang kekuasaan dan pemegang tampuk kepemimpinan yang tidak memiliki apresiasi terhadap sastra, musikal, atau puisi, sudah semestinya keluar dari lingkaran elite”.
Menarik. Seelok itukah angan-angan politik bangsa kita?
Tidak ada catatan kita pernah punya presiden yang penyair. Bung Karno cuma apresiator sastra. Namun beberapa presiden Amerika tercatat menyukai puisi, dan mantan presiden Abraham Lincoln sendiri penyair selama bersahabat dengan penyair Walt Whitman.Sentuhan puitis memberinya persona antiperbudakan,dan semangat demokrasi.
Diberitakan Presiden Bush juga menulis puisi, dan mantan presiden Bill Clinton berapresiasi sengaja mengundang tiga penyair kenamaan ke Gedung Putih saat Bulan Puisi Nasional. Tak banyak yang tahu kalau Donald Rumsfeld (Menhankam AS) juga seorang penyair. Membaca setiap pidato mantan presiden Ronald Reagan semasa hidupnya dulu kita merasakan betapa kaya ungkapan puitisnya. Bukti bahwa dalam pendidikan Barat kesusastraan sama vitalnya dengan matematik.
Dulu penyair dipandang sebagai pujangga, penasihat raja. Boleh jadi lantaran dibanding orang biasa kelebihan penyair memiliki kepekaan sosial, visioner, lebih dahulu menangkap apa-apa yang orang biasa belum atau gagal menangkapnya, jujur pada kata hati, bicara apa adanya, dan patuh serta hormat kepada kebenaran hidup.
Pablo Neruda, penyair Chili yang beradab dalam berpolitik, dan pernah menjadi kandidat presiden Chili sebelum mendapat Hadiah Nobel. Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis, pioner demokrasi dan kebebasan pers, memilih turun terhormat dan memberikan kekuasaannya kepada perdana menterinya setelah 20 tahun memerintah. Jackues Chirac pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya menulis catatan saat kematian Senghor sang penyair yang presiden itu, “Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend”.
BUAT kita sendiri, sastra dan kesenian nyatanya semakin terpinggirkan dari kehidupan berbangsa, bangsa yang katanya berbudaya. Rubrik sastra koran dan majalah sudah lama tersisih oleh iklan dan berita ekonomi. Anak sekolah kita lebih tertarik budaya pop ketimbang bersastra dan berkesenian. Kesusastraan dan kesenian bukan lagi bagian integral dan sosok internalisasi kepribadian anak sekolah kita.
Sekolah kita tidak mewajibkan sastra menjadi bagian dari kehidupan anak didik. Barangkali di situ awal kerisauan elite bangsa, betapa majal ekspresi dan kepekaan hidup rata-rata anak dan masyarakat kiwari kita. Mungkin itu pula sebab banyak produk pejabat yang tidak peka, kurang berempati, boleh jadi sebab pendidikan kurang memberikan ruang batin untuk membangun keelokan itu. Kalau ada juga pejabat berdeklamasi dan membaca puisi, itu cuma tugas seremonial belaka.
Persona penyair wajah arif kehidupan. Jarang terjadi puisi dan perang tampil dalam tubuh kalimat yang sama. Boleh jadi betul pesan Guru Besar Alois di atas, bahwa dalam berpolitik, kita memerlukan lebih banyak sentuhan “puisi” agar bangsa tidak sampai tercerai-berai. Aspek puitis dalam kehidupan, bukan cuma ada pada sosok puisi itu sendiri, namun tercurah dalam kehidupan dengan spirit berpuisi. Puisi ada di mana-mana sudut kehidupan. Eloknya juga perlu hadir dalam setiap tampuk kepemimpinan.
Puisi adalah petuah, mantera, dan kehidupan itu sendiri. Puisi itu vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat sikap hidup insani menjadi halus dan lunak, yang menjadikan politik dan sikap berpolitik lebih santun dan beradab.
Sudah lama dunia internasional membangun puisi sebagai terapi (The International Association for Poetry Therapy). Banyak klub dan organisasi terapi puisi di dunia. Puisi sebagai obat stres bukan isapan jempol. Puisi menyimpan efek relaksasi (Dietrich von Bonin, Henrik Bettermann).
Dari studi yang sama terungkap efek puisi bukan cuma pada manajemen stres, melainkan bisa mencegah penyakit jantung, dan gangguan pernapasan juga. Periset meneliti efek puisi dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology 6/09/02). Dengan puisi temperamen politisi pun mestinya bisa menjadi lebih jinak.
BERPUISI, bersastra, dan berkesenian, harus menjadi salah satu adonan dalam pembangunan karakter bangsa. Krisis multidemensi kita diperburuk dan diperpelik oleh timpangnya pembangunan bangsa selama ini yang mendahulukan pembangunan sosok, namun mengabaikan pembangunan “inner beauty” bangsa. Pembangunan ekonomi mempercantik sosok bangsa, puisi dan sastra membuatnya beradab. Termasuk menjadikannya elitis saat berpolitik. ***
HANDRAWAN NADESUL, dokter, penulis kolom dan buku.
(Sudah dimuat di Harian Kompas 2004)